Friday, March 26, 2010

The National Exam Is OVER... *Dances HSM*

Ah... Friday! I love that day especially this week.
 
Kenapa? 
Pertama = Karena setelah Jumat adalah Sabtu-Minggu alias Weekend 
Kedua = The last day of my school days 
Ketiga = HARI BERAKHIRNYA UJIAN NASIONAL 2010! AKHIRNYAAA!

Setelah lima hari bertarung, bergulat, bersenggama *??* dengan soal-soal yang bikin otak panas itu, GUE BEBAAAASSS... *dance lagu High School Musical yang What Time Is It?!

Okay, memang belum bebas sepenuhnya sih, tapi minimal udah lega sedikitlah. Hanya tinggal Ujian Sekolah, Praktikum, dan Ujian Perguruan Tinggi Negeri dan bla bla bla. Tapi yaaah... minimal kan udah satu ujian dilewati. Tinggal tunggu hasilnya *mudah-mudahan lulus... mudah-mudahan lulus... mudah-mudahan luluuuuus*

Btw, here's my impression from the exam days!

Day I : 
Bahasa Indonesia : Pengawas 2 orang, laki-laki dan perempuan. Satu ibu-ibu pakai kacamata coklat, matanya mengarah ke gue melulu,  bikin grogi berat... eh pas hampir selesai waktu ujian, teman ngasih tau kalau ternyata ibu pengawas itu tidur. Cuma nggak kelihatan karena kacamatanya coklat. Capek deeeeeh 😐

Sosiologi : I never thought that Sociology would be sooooo difficult. Soalnya ternyata nggak kayak yang gue kira (gampang, meremehkan, nggak penting, kena karma kan, An) dan sempet mangap-mangap juga tuh bacanya. Ckckck... ahhh yang penting udah selesai 😜 Btw, pengawas untuk ujian Sosiologi baik-baik banget orangnya. Makasih yaaaa 

Day II
Bahasa Inggris : Tak ada masalah... alhamdulillah kemampuan bahasa Inggris gue yang waktu SMP anjlok banget sekarang udah naik levelnya. So far... tak ada kesulitan yang berarti selama mengerjakan bahasa Inggris x) *sombong mode = ON* 

Day III : 
Matematika : The worst day of all Exams! Gue hanya bisa bilang makasih sama pengawasnya yang super duper baik banget. Dan tentang jawaban gue di soal Matematika yang sangat @#$$%%##!@@$$%$%#$@#@ *sensor* itu, gue hanya bisa pasrah kepada Allah SWT dan Nizar 😏 

Day IV :
Geografi : Soalnya susah... pengawasanya apalageeeee. Wadeziglah pokoknya 

Day V :
Ekonomi : Soalnya susah tapi kita mendapatkan pengawas terbaik yang pernah ada wakakakak. Makasih ya ibu-ibu... kami akan mengingat kalian di lubuk hati yang terdalam 😆

AND... THAT'S IT. MY NATIONAL EXAM'S FINALLY OVER. Dancing... screaming... lalalalalalaaaa... semoga aja hasil Ujian Nasionalnya nggak mengecewakan. Minimal... Gue nggak mau remedial dan semoga lulus 100% untuk semua siswa SMA/SMK di Indonesia. Well, denger-denger sih katanya UN tahun ini terakhir, jadi gue berharap kita semua bisa diluluskan *amien*

Aaaah... BYE NATIONAL EXAM... WE WON'T MISS YOU... NEVER... EVER... 

Sunday, March 7, 2010

My Name is Khan at Midnight

Hallo... 

Semalam gue mengalami hari yang cukup unik deh, haha. That's why I think I should write the story in here *meski belom tentu ada yang baca* Anyway, semalam itu kan malam Sabtu, dan harusnya gue ikut sesi Mabit, tapi nggak berangkat karena ada pernikahan saudara. Mana acaranya jauh pula... di Bekasi. Anehnya, kita hampir nyasar ke Bandung pas perjalanan pulang. Zzz... 

Nah, di perjalanan pulang, gue iseng bilang, "Ma... nonton My Name is Khan, yuk!" padahal itu udah jam 9 malem. Jadi, sebenarnya nggak berharap bakal diizinin juga. Tapi, ternyata jawaban Mama, "Ayuk... tapi jam segini udah pada mulai pasti filmnya. Yang midnight aja ya." Pas denger itu, gue jelas aja melongo... Gaul banget si Mama ngajakin nonton midnight... -____- tapi akhirnya kita berangkat juga. Sampai rumah, ganti baju, Internetan bentar sembari nunggu Mama ngabisin sinetronnya, barulah kita jalan. Berdua doang pula. Soalnya si Adik nggak mau ikut dan lebih milih main PlayStation. Papa juga nggak mau karena capek abis nyetir dan nyaris nyasar ke Bandung 😔. Awalnya mau naik motor aja, boncengin Mama karena kita jalan jam setengah 11 malam... udah nggak ada kendaraan umum lagi. Tapi, motor tua itu kagak mau hidup. Yasudahlah, akhirnya kita naik ojek saja. Bertiga pula. Ke Pejaten Village pula. That was totally random for me 😏

Singkat cerita kita sampai di Penvil yang udah gelap dan harus naik ke lantai paling atas karena hanya tinggal bioskopnya yang buka. Setelah beli tiket beres, gue beli Popcorn dan fanta *dan ngomel karena cuma begitu aja aja abis 70ribu. Mahalan snack-nya daripada tiket nonton*. Baru juga duduk sebentar sambil nunggu film, Mama numpahin fantanya sedikit. Clumsy as always. Oke, masih wajar. Terus kita masuk ke dalam teater satu, Mama naruh fantanya di bawah. Eh, ketendang sama kakinya sendiri. Tumpah semua... Zzzz -,- 

Dan saat itu yang disalahkan malah gue pula... Tambah Zzzzzzzzzz 

Mama: Yah... kamu sih De, nggak bilang kalo ada tempat buat naruh minumnya" *maksudnya yang di samping setiap kursi bioskop 

Ade: Yaaah... Ade kira mama tauk.

Mama: Ya nggak taulah. Kamu harusnya ngasih tau

Ade: Iya deh iyaaa... *dalam hati menggerutu*

Sunyi sebentar, kirain udah selesai complain-nya... tapi tau-tau "harusnya kamu beli yang botolan biar nggak tumpah" Eh, si Mama masih nyambung aja deeeh. Diam sajalah daripada ribut terus 😐

My Name is Khan 
Pemeran utama film ini adalah Shahrukh Khan dan Kajol, dua sejoli India yang legendaris banget dengan filmnya Kuch Kuch Hota Hai. Gue nonton film itu waktu masih TK kalo nggak salah. Tapi, di film My Name is Khan ini, mereka udah berbeda jauh dari Kuch Kuch Hota Hai. Ya iyalah, itu belasan tahun yang lalu 😏

Spoilers Film
Sutradara filmnya masih sama... Karan Johar. Singkatnya, ini adalah cerita tentang seorang penderita Autisme syndrome bernama Rizvan Khan (Shahrukh Khan). Maap pemirsa, gue lupa nama lengkap penyakitnya. Pokoknya, Rizvan itu takut dengan suara bising, orang-orang baru, dan keramaian, juga warna kuning. Rizvan juga nggak bisa mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Ia menuliskannya. Tapi lama-kelamaan ia mulai sedikit membaik seiring dengan ia bertambah dewasa. Nah, Rizvan memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bisa memperbaiki berbagai macam kerusakan mesin dan semacamnya. Dia bisa mengingat banyak hal. Dan dia adalah seorang Muslim India yang taat. Sedari kecil, ibunya mengajarkan Rizvan bahwa di dunia ini hanya ada dua perbedaan "Insan yang melakukan hal baik dan insan yang melakukan hal buruk" dengan maksud agar Rizvan tidak salah menilai sesuatu. Oleh karena itulah, Rizvan tidak membedakan antar agama manapun dan selalu melakukan kebaikan kepada siapa pun.

Setelah ibunya meninggal, Rizvan pindah ke Amerika menyusul adiknya dan mulai bekerja disana sebagai Sales. Singkatnya, dia bertemu Mandira (Kajol), seorang perempuan Hindu India yang cantik dan janda beranak satu. Menikahlah mereka tanpa memperdulikan perbedaan agama. Suatu hari, selang beberapa tahun setelah pernikahannya, ada berita bahwa beberapa gedung di Amerika di bom oleh teroris Muslim (Tragedi 9/11). Tragedi itu menimbulkan perubahan sikap dari para orang Amerika terhadap orang-orang Muslim yang tinggal di Amerika atau yang kita kenal dengan Islamophobia. Dan akhirnya juga menimbulkan masalah terhadap rumah tangga Rizvan dan Mandira. Perbedaan sikap terhadap orang Muslim itu juga menimbulkan keinginan Rizvan untuk mengatakan pada seluruh dunia bahwa ia seorang Muslim dan bukan Teroris. Sebenarnya hal itu juga perintah dari Mandira yang mengatakannya saat sedang dimakan api kemarahan. Rizvan pun ingin menemui Presiden Amerika hanya untuk mengatakan "My Name is Khan and I'm not a terrorist..." dan untuk itu Rizvan harus menempuh perjalanan panjang nan berat. Rizvan tidak mau berhenti sebelum tujuannya tercapai.

Banyak kejadian-kejadian yang tak terduga sepanjang film, hal-hal yang akan bikin kita tertawa, lalu menangis, lalu merenung, dan berpikir, film yang amat sangat cerdas. Selain itu, meski tokoh utama dan penceritaannya diambil dari perspektif seorang Muslim, tapi film ini bisa dinikmati oleh berbagai kalangan agama. Lalu, apakah Rizvan berhasil menemui Presiden Amerika? Silahkan ditonton dan temukan jawabannya sendiri, ya. 

Karismanya yang tak pernah hilang....

Film My Name is Khan berbeda dari film India lain yang kebanyakan nyanyinya. Sang sutradara membuat film ini bisa dinikmati kalangan universal tanpa melepas nuansa India-nya. Dari segi akting, wooow... Shahrukh Khan memang aktor India legendaris. Dia bisa dengan sangat baik memerankan tokoh Rizvan yang memiliki Autisme. Gue kagum dengan caranya berbicara dan berekspresi. Dan Shahrukh Khan ini juga nggak kehilangan karismanya, lho. Mukanya tetap nggak berubah, cuma sedikit ada kerut aja, hahaha. Kalian nggak akan bisa menebak kemana arah ceritanya... dan justru akan dibuat kaget dengan twist-twistnya. Hal yang paling berkesan bagi gue adalah sosok Rizvan itu nggak bisa menangis untuk menunjukkan kalau dia sedang merasakan emosi kesedihan. Tapi, Rizvan selalu membawa 3 batu kecil saat dia sedih atau takut. Lalu, dia akan membaca surat Al-Ikhlas. What a sweet reminder for all of us Muslims to always remember Allah SWT even during our darkest moments :")

Semoga review ini bermanfaat ya.

Friday, January 22, 2010

A Busy Girl

YES... I officially have become a busy girl since I'm a senior year now.

Padahal gue merasa baru kemarin tercengang-cengang melihat gedung SMA Muhammadiyah 4 dan pura-pura sakit waktu MOS untuk menghindari hukuman karena nggak bawa peralatan lengkap. Kayaknya baru kemaren gue terkagum-kagum melihat anak-anak IPM di sekolah, memperhatikan para senior, menjadi anak ingusan yang bisanya bengong kalau melihat senior lagi melabrak adik kelasnya...

TAPI SEKARANG.... 
SEKARANG GUE ADALAH SENIOR ITU 
*tanpa aksi melabrak karena bullying is never cool so f*ck you bullies* ... 

Waktu justru berlalu sangat cepat saat kita mengharapkannya untuk melambat, boi. Dan itu adalah sesuatu yang nggak bisa kita tolak bagaimanapun caranya. Dan seiring dengan berubahnya status gue menjadi 'Kelas XII', berubah pula jadwal sehari-hari yang biasanya: Makan, tidur, sekolah, nonton TV, internetan, belajar sekedarnya (jangan ditiru), dan berbagai hal santai lain yang ternyata... membosankan!! Memasuki Kelas XII ini, gue mulai sadar kalau gue nggak bisa terus begitu. Gue mulai memikirkan dan mencari tahu cita-cita apa yang ingin gue kejar, ingin menjadi apa gue di dunia ini?

Singkatnya, tujuan gue adalah lulus UAN (Ujian Akhir Nasional), UAS (Ujian Akhir Sekolah), dan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tapi, nggak segampang itulah, apalagi melihat kadar otak gue yang sepertinya tak menjangkau rata-rata. Jadi, gue harus ekstra belajar demi meraih mimpi-mimpi itu. Dan karena itulah gue daftar les di Nurul Fikri di Mampang. Jadwal les gue adalah Sabtu dan Minggu pula. Kebayang nggak sih, gue yang biasanya ngorok sampai siang di rumah di hari Minggu, ini jam 11 harus udah ada di NF. Aku tak biasa... aku tak biasaaa...

Tapi, setelah dijalani, ternyata nggak berat-berat amat kok. Dari NF itu pula, gue bergabung ke Mabit Nurul Fikri, singkatnya itu ekstrakurikuler yang dibuat para alumnus NF yang sudah tembus PTN dengan tujuan menggempur kita untuk belajar lebih demi masuk PTN. Dan para pengajarnya masih sangat muda. Rata-rata 18 tahun. How cool is that. Sesi Mabit dimulai setelah NF selesai, dari setengah 8 sampai setengah 10 malam, itupun bagi cewek (akhwat) doang. Yang cowok lanjut menginap sampai jam 5 pagi, belajar. Tapi, hari Minggu-nya mereka nggak usah datang ke Mabit lagi, hehe. Lumayan kaget juga sih saat penyesuaiannya. Namanya orang biasa santai (terlalu santai lebih tepatnya), tiba-tiba jadi padat jadwal begini. Tugas dan PR dari Mabit lebih banyak daripada tugas sekolah pula. Well, selama bukan PR Matematika sih, gue akan tetap mencoba mengerjakan. Tapi, kalau sudah Matematika... Angkat bendera putih, deh!

Dari sekolah pun juga ternyata ada Bim Belajar setiap hari, dan tau-tau gue berubah jadi cewek yang setiap hari harus ngerjain PR dan soal ujian. How weird is that... hahaha 😔

Fyi, salah satu alasan gue serius belajar adalah karena Mama menjanjikan kalau gue tembus PTN, gue akan diajak ke Belitung. Hoaaaah... udah pengin banget mengunjungi pulau itu sejak baca novel Laskar Pelangi. Andrea Hirata is just really genius when he tells the beauty of Belitung Island. And it makes me fall in love with that island. Jadi kawan... tolong doakan perjuangan gue yaa.

THANK YOU

Sunday, December 20, 2009

Pemimpi

Sedari kecil, gue memang suka bermimpi tinggi meski itu hanya impian kosong. Tapi, gue yang dulu dan sekarang berbeda. Gue benar-benar ingin mewujudkan impian itu. Semua orang mampu asal mereka punya keinginan dan keyakinan akan kemampuan diri mereka. Gue tidak mau terlahir di dunia ini hanya menjadi manusia kecil nggak bermakna dengan hidup biasa.

Gue ingin menjadi bagian dari suatu organisasi yang bisa membantu orang-orang di jalanan, anak-anak yang nggak sekolah agar punya hidup yang lebih layak. Tapi, gue juga tau... untuk mencapai semua itu nggak akan mudah. Perjuangannya bukan perjuangan biasa. Gue sangat mengerti itu dan karena itulah gue semakin yakin. Memulai dari hal kecil, sekarang gue melatih diri untuk lebih banyak berpikir dan meyakinkan diri untuk percaya pada impian itu. Bahwa gue ingin berbuat sesuatu di dunia ini. Sesuatu yang bermakna dan berguna. 

Gue percaya dengan semua itu. Tapi kata-kata ini benar-benar membuat gue jatuh lagi begitu kerasnya.

"Mimpi boleh tapi jangan ketinggian. Yang realistis. Ntar kalau kamu udah gede, udah hidup di kantoran juga nggak bakal semudah itu mikirnya. Nggak usahlah mimpi kayak gitu. Jadi pegawai negeri aja udah. Gaji terjamin."

Setiap kali gue sekedar iseng curhat bahwa gue mau jadi ini, ingin membuat itu, dia akan bilang kalo impian gue adalah impian kosong anak remaja yang gampang diucapkan. Dia selalu bilang kalau dewasa nanti, akan berbeda pemikirannya. Baginya, yang terpenting dalam hidup adalah mencari kenyamanan dan keamanan, segala hal yang pasti dan harus terjamin.

Gue mungkin cuma bocah perempuan 17 tahun yang suka berkhayal dan tidak punya pengalaman apa-apa sekarang. Tapi apa salah kalau gue hanya ingin menceritakan impian dengannya. Tidak bisakah dia tersenyum dan mengiyakan saja? Minimal agar gue tidak kehilangan kepercayaan diri?

Thursday, December 17, 2009

Sang Pemimpi the Movie

 

Gue sudah memesan tiketnya tiga hari sebelum film ini tayang di bioskop karena gue yakin kalau film ini akan menyedot banyak penonton seperti film pertamanya, Laskar Pelangi, dan gue nggak mau sampai kehabisan tiket. Novel Sang Pemimpi sendiri memang salah satu novel favorit gue dari serial Laskar Pelangi. Dan hari ini pun, akhirnya gue berangkat ke Pejaten Village bareng Ema, Mara, Vina, De Nanda, dan Ratma. Di antara kita, memang cuma gue yang paling semangat. Bahkan semalaman gue nggak bisa tidur saking nggak sabarnya pengin nonton. Gue takut kecewa, tapi juga penasaran dan punya keyakinan bahwa film ini akan memuaskan, secara dia digarap oleh Riri Riza dan Mira Lesmana

Film Spoilers:
Film dibuka dengan Mathias Muchus yang berperan sebagai ayah dari Ikal sedang mengayuh sepeda kumbangnya diiringi bunyi khas sepeda tua menelusuri jalanan yang dikelilingi alang-alang dan pepohonan, serta terik matahari. Awal yang penuh makna karena kisah ini memang tentang Ayah. Lalu tiba-tiba scene berpindah ke daerah Bogor, diiringi suara Lukman Sardi sabagai narator yang juga memerankan Ikal dewasa, disini ia memulai kisahnya. Ikal dewasa digambarkan sedang putus asa dan mengeluhkan pekerjaannya sebagai Tukang Pos. Ikal tidak pernah percaya pada Tukang Pos, tapi dia malah berakhir sebagai Tukang Pos. Ada kisah tersendiri dibalik rasa tidak percayanya itu. Kisah yang membuat gue menitikkan air mata nantinya. Saat itu, Ikal juga mengeluhkan impiannya yang terlalu tinggi, sambil memikirkan sepupunya Arai yang telah mengajaknya bermimpi setinggi ini, namun malah meninggalkannya selama tiga tahun di rumah sempit di Bogor. 

Ikal tengah putus harapan. Namun, di tengah keputusasaannya, pemandangan anak-anak SMA yang berlarian di sekitar kontrakannya membuatnya mengingat masa lalunya: dan cerita pun dimulai. Masa kecilnya dengan Arai. Dari sini hingga 2 jam kedepan adalah masa-masa dimana gue tertawa ngakak (benar-benar ngakak) dan juga menangis haru (meski nggak sampai sesenggukan) karena Riri Riza begitu apik memvisualisasikan sebuah cerita dari buku ke layar lebar. Dan pada akhir film, saat Arai dewasa (Nazril Irham - Ariel Peterpan) mengucapkan kata terakhir, "Tapi, Kal... kita belum sampai Perancis!", gue merasa sangaaaat puas. Rasa penasaran dan khawatir gue terbayar sudah. Film ini dimulai dan diakhiri dengan memuaskan, porsi yang pas menurut gue pribadi.

Tokoh-tokoh dalam film ini awalnya sempat bikin gue ragu. Bisakah mereka menyamai kesuksesan akting anak-anak Laskar Pelangi yang polos dan natural? Dan ternyata mereka bisa. Dan gue merasa cukup terhibur dan puas dengan akting semua pemain di film ini. Ayo kita review satu persatu:

Vikri Septiawan as Ikal remaja
Vikri Septiawan - Ikal Remaja : Tokoh Ikal remaja ini awalnya sempat membuat gue ragu... apakah dia bisa menyamai kepiawaian akting Zulfanny sebagai Ikal kecil? Dan hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Vikri berhasil menghidupkan emosi Ikal remaja, dari marah, sedih, senang, penyesalan, dan berbagai emosi lainnya. Dialog Ikal remaja tidak lebih banyak kalau dibanding Arai, meski porsi scene untuknya sedikit lebih banyak tentunya, tapi justru kemampuannya berekspresi tanpa bicara dan hanya lewat rautan wajah terasa sangat natural. Untuk seorang pendatang baru dari Belitung yang sama sekali belum pernah akting sebelumnya, dia membawakan peran ini dengan baik.

Ahmad Syaifullah sbg Arai remaja
Ahmad Rendi Syaifullah - Arai Remaja : Tokoh Arai remaja ini juga sempat membuat gue khawatir. Gue meragukan apakah dia bisa membawakan karakter favorit para pembaca yang merupakan jantung dari cerita ini? Arai yang penuh kejutan, penuh mimpi, urakan, cerdas, dan berbagai sifat luar biasa lainnya, bisakah seorang pendatang baru remaja dari Belitung ini membawa Arai ke layar lebar? Gue takut dia akan mengecewakan dan kaku. Dan ternyata, sekali lagi, ketakutan gue tidak terbukti. Rendi, hampir mirip seperti Verrys Yamarno yang memerankan tokoh Mahar di Laskar Pelangi, meninggalkan kesan keunikan yang menggemaskan. Bahkan banyak yang merasa dialah Arai, Sang Simpai Kramat itu. Senyum jahilnya, kata-kata penuh semangatnya, semuanya benar-benar dibawakan dengan porsi yang pas. Fakta bahwa wajahnya masih baru di dunia seni peran memberi kesan yang lebih realistis ke film ini.

Azwir Fitrianto sbg Jimbron remaja
Azwir Fitrianto - Jimbron Remaja : Tokoh Jimbron ini nggak segagap yang di bukunya, tapi secara wajah dan penampilannya, dia memang sama persis dengan yangg digambarkan Andrea Hirata di novel Sang Pemimpi. Dari segi akting, dia mungkin masih kalah dibanding Vikri Septiawan dan Ahmad Syaifullah, tapi dia juga nggak mengecewakan. Aktingnya sabagai orang gagap penggemar kuda yang lugu dan innocent dibawakan dengan baik dan meyakinkan, tidak terlihat kaku.  Paling tidak, cukup banyak moment dari Jimbron yang membuat penonton terpingkal dibuatnya. Keluguannya yang natural tergambar dengan baik di layar lebar..

Nazriel Irham - Ariel - Arai Dewasa
Kenapa gue langsung review ke tokoh Arai dewasa dan bukannya Ikal dewasa? Karena menurut gue, tokoh-tokoh yang lain sudah nggak perlu di-review lagi. Akting mereka sudah pas dan cocok dengan porsinya. Dan... tokoh Arai dewasa ini memang yang paling ditunggu-tunggu karena perannya dibawakan oleh Nazril Irham alias Ariel Peterpan (tau kan siapa? Itu lho vokalisnya Peterpan yang namanya udah ganti jadi Noah 😊). Semua pasti penasaran dengan akting Ariel sebagai Arai, kan? Pasalnya, tokoh Arai itu cerdas tapi jahil dan bandelnya nggak ketulungan, nggak bisa diam, tapi juga berhati emas dan jenius. Kita mau tau apakah Ariel bisa membawakan tokoh Arai yang seperti itu karena kita taunya Ariel itu kalem.

Waktu awal Ariel muncul di film menggantikan tokoh Arai remaja menjadi Arai dewasa, gue memang merasa aneh. Maklumlah, biasanya gue lihat dia nyanyi di panggung. Gue juga bertanya-tanya, apakah aktingnya akan sesuai porsi Arai yang penuh warna itu? Dan ternyata... He exceeded my expectation. Ariel tidak terlihat kaku membawakan sifat Arai yang penuh keajaiban itu, hehe. Dan logat melayunya juga nggak kaku. Dia bisa menggambarkan Arai yang di buku dengan baik. Tentu saja aktingnya masih tidak seapik Rendi, tapi bukan berarti dia jelek. Tidak... Ariel benar-benar natural membawakan karakter Arai. So far... So good~

Ikal saat mengejar ayahnya
Buku VS Film:
1. Pecinta novel Sang Pemimpi pasti tahu kalau Arai kecil suka berbuat jahil pada Taikong Hamim, guru ngaji Ikal, Arai, dan Jimbron. Nah, di film ada lho adegan dimana Arai kecil dan Ikal kecil sedang sholat maghrib. Saat waktunya bilang Amieen setelah Al-Fatihah, tokoh Arai kecil benar-benar memanjangkan kata "Aaaaaaaamiiiiiiiiieeeeen" bahkan dengan nada-nada dangdut. Yang lain sudah selesai ber-amin, Arai masih aja berteriak 'AMIN' dengan keras dan membuat Ikal langsung menoleh ke arahnya. That was hilarious!

2. Kalau di buku, Ikal dan Arai sudah bertemu sejak umur 5 tahun, maka di film, Ikal baru bertemu Arai setelah ia kehilangan Lintang. Well, lebih masuk akal sih sebagai kelanjutan filmnya, terlepas dari novelnya, mengingat keberadaan Arai nggak pernah disinggung di film Laskar Pelangi, padahal mereka sudah berpetualang bersama sejak usia 5 tahun.

3. Kalau di buku, suara Arai cempreng banget saat bernyanyi sampai-sampai dia harus lip sync waktu akan nyanyi buat Zakiah Nurmala, di film ini suara Arai remaja justru bagus dan merdu. Waktu dia nyanyi lagu melayu di depan rumah Zakiah Nurmala, satu bioskop ngakak. Bukan karena suaranya, tapi karena penampilannya.

5. Adegan waktu Ikal mengejar Ayahnya yang baru mengambil raport, saat nilai Ikal turun drastis karena dia sudah mulai goyah akan mimpi-mimpinya, benar-benar sesuai dengan bukunya. Dan saat adegan itu berjalan, satu bioskop hening. Nangisssss semua.

Oke segitu dulu reviewnya, ya. Semoga bermanfaat!

Thursday, November 5, 2009

So What If You're an ABRI?

Tadi siang di sekolah, seperti biasa, gue, Putri, Dewi, dan Litha ngerumpi sebelum pelajaran mulai (atau bahkan saat pelajaran sedang berlangsung 😈). Tiba-tiba Putri dengan semangat bilang,  

"Eh gue mau cerita dong... gue mau cerita. Dengerin guee..." dia matiin iPod Dewi dan memaksa kita fokus pada ceritanya. Yep, Putri memang sering bersikap seperti anak kecil dan agak polos. Tapi, menurut gue, itulah yang menjadi daya tarik dirinya. Kepolosan yang natural dan jujur.

Putri cerita kalau kemarin saat pulang sekolah, dia melihat kejadian seru yang melibatkan beberapa orang berseragam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan seorang Bapak yang kasihan. Yep, Bapak ini kasihan bgt. You want to know why...? Keep reading.

Jadi, waktu Putri pulang naik angkot, di suatu daerah (Putri menyebutkan nama daerahnya... tapi sekali lagi gue melupakannya) angkotnya terjebak macet. Nah, ternyata macet itu bukan karena lampu merah, melainkan ada kecelakaan kecil yang tak disengaja. Biasalah... Khilaf. Seorang Bapak berbadan besar (menurut Putri) secara tak sengaja nyerempet motor. Nah, yang diserempet itu ternyata motor milik seorang ABRI. Keadaan si motor beserta ABRI-nya sendiri nggak luka atau lecet sedikitpun, mungkin mereka memang sedikit shock. Tapi, si ABRI itu langsung marah-marah ke si Bapak. Si Bapak yang nabrak itu udah minta maaf, tapi si ABRI itu tetap marah-marah hingga memukul Bapak yang nggak sengaja nabrak. Yang membuat tambah panas adalah, kata Putri, teman-teman si pengendara ABRI itu yang juga adalah anggota ABRI ikutan menghampiri lokasi dan bukannya memisahkan mereka, malah ikut mukulin dan nendangin Bapak itu.

WHAT THE HELL?!

Si bapak itu diam aja dipukulin meski tampangnya udah mau nangis (ya iyalah... dia ditendang, dipukul, dan parahnya kepalanya sempet dipukul pakai helm. ITU KAN SAKIT!) Dan parahnya lagi, nggak ada yang berani menolong si Bapak. Orang-orang disitu, meski banyak, nggak ada satupun yang cukup berani untuk melawan pria-pria berbaju tentara dengan pin jabatan di seragam mereka itu.

Mereka ABRI darimana sih? Kok tega banget sampe mukulin si Bapak yang nggak sengaja nyerempet dan sudah minta maaf? Memang kenapa kalau mereka berpangkat tinggi? Mereka berhak mukulin orang yang melakukan kesalahan yang nggakl disengaja? Bukankah tugas mereka harusnya melindungi masyarakat? Di mata Tuhan, kita semua itu sama. Mungkin mereka pikir keren kali dilihatin banyak orang.

Seandainya gue ada di posisi Putri saat itu, pasti gue sudah turun dan coba melindungi Bapak itu. Bukannya sok berani. Tapi, gue kan perempuan, siswi SMA pula, yang kalau pulang sekolah masih memakai jilbab panjang berseragam, jadi pastinya ABRI itu nggak bakal berani dong mukulin gue. Unless they really are that low to hit a girl. Sesungguhnya memaafkan itu lebih baik, bukan?

Friday, October 30, 2009

SMP Jaman Sekarang


SMP jaman sekarang sudah tak sepolos jaman gue dulu (padahal belum lama juga lulus dari SMP 😔). Ataukah gue yang dulunya terlalu cupu dan naif? Waktu SMP, nggak pernah sekalipun terpikirkan oleh gue untuk pacaran (yep... sepertinya gue dulu terlalu culun dan nggak laku, jadi gitu). Bukan sok suci atau apa, hanya saja, perasaan suka ke cowok bukan sesuatu yang akan gue ungkapkan. Ya udah gitu aja. Nggak ada keinginan untuk memiliki dia. Malah malu banget kalau sampai dia memperhatikan keanehan gue.

Waktu SMP, gue merasa bahwa pertemanan dengan orang yang gue sukai sudah merupakan hal yang luar biasa, lebih dari cukup. Nggak perlulah pacaran. Belum perlu, lebih tepatnya. Berteman aja masih labil, gimana kalau pacaran?

Waktu SMP, gue adalah tipe anak yang masih tercengang-cengang melihat cewek-cowok gandengan tangan, pelukan... dan ciuman di kelas. Sekarang, pacaran sepertinya jadi kebutuhan ya? Kayaknya kalau di status Facebook, statusnya in relationship, ada suatu kebanggaan tersendiri. 

Bicara soal Facebook, gue juga sering tercengang sendiri saat melihat anak-anak SMP update status, "Seminggu jomblo bosen deh. Pengin cari pacar lagi ahh...". Wow, apakah segampang itu mereka dapat pacar baru setelah yang lama putus? Ini pacarannya sama manusia atau sama kucing? Apa sebegitu krisisnya keadaan diri kita kalau nggak punya pacar lebih dari seminggu? Berhubung gue nggak punya pengalaman pacaran, jadi gue nggak paham seberapa krisis hidup kita tanpa pacar.

Selain pacaran, anak-anak SMP pun juga udah nggak asing dengan yang namanya kontak fisik, dan dalam pacaran, minimal harus ada cium pipi kanan dan kiri, lalu.... (isi sendiri). Saking kebablasannya, sekarang nggak jarang ada berita anak kelas 2 SMP yang umurnya kira-kira 13-14 tahun menghamili teman sekelasnya. 

Umur 13-14 tahun udah hamilin anak orang!! Teman sekelas!? Gimana nasib anak yang dikandungnya itu? Bagaimana orangtua mereka? Lalu, bagaimana dengan dosa? Apakah mereka tidak kepikiran bahwa ada Tuhan yang mengawasi?

Nafsu memang membutakan akal sehat. Meski mereka sudah tahu kalau perbuatan mereka salah, sebagian dari mereka menutup kuping dan telinga (eh... ini sama ya hehe), maksudnya menutup telinga dan hati mereka dan mengikuti nafsu dengan alasan pembuktian cinta. Pembuktian cinta apa? Emang kalau pacaran harus melakukan koneksi tubuh supaya lebih dekat?

Hal seperti ini dianggap sebagai hal yang semakin biasa, bahkan gaya. Semoga gue punya tameng yang kuat untuk bertahan menjaga diri gue sendiri karena sering pada akhirnya yang jadi korban adalah perempuan... 💔