Andrea Hirata adalah salah satu penulis terhebat sepanjang masa. Paling tidak, begitulah menurut gue. Sudah gue baca semua buku-bukunya dari Laskar Pelangi hingga Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. Nggak ada satupun dari buku-buku itu gagal membuat terkesan. Keindahan tulisannya yang dibalut gaya melayu memang dijamin membuat pecinta sastra manapun jatuh cinta. Serius. Lihat, gaya tulisan gue jadi sedikit seperti dia karena gue baru saja membaca Sebelas Patriot, hehehe..
Sebelas Patriot adalah buku yang halamannya paling sedikit diantara buku-buku Andrea yang pernah ia terbitkan. Cuma 105 halaman kurang lebih. Dua atau tiga jam saja bisa selesai. Kisah ini masih berpusar tentang Ikal dan pengalamannya. Kali ini, Andrea menceritakan tentang Ayahnya dan sepak bola. Singkatnya, Ayahnya adalah mantan pemain sepak bola terhebat yang pernah ada, namun karena kekejaman Belanda di masa penjajahan, mimpi Ayahnya hancur. Cara Belanda menjajah Indonesia tidak hanya dengan memaksa rakyat kita bekerja rodi saja. Mereka juga melarang keras rakyat Indonesia saat itu untuk menang melawan tim Belanda dalam pertandingan olahraga apapun. Mereka harus selalu mengalah pada Belanda, seberapa hebatpun mereka. Jika mereka membangkang, Belanda tak segan menaikkan mereka ke dalam Tangsi dan membuat mereka tak berani bermain olahraga lagi. Tapi, Ayah Ikal dan kedua saudaranya tidak mau menjadi pengecut. Mereka adalah tiga bersaudara yang mencintai sepak bola, dan mereka adalah pemain yang handal. Di lapangan, mereka merasa merdeka karena bisa bermain bola dengan bebas, dan mereka ingin menunjukkan kemerdekaan itu dengan tidak menunjukkan sikap mengalah pada Belanda. Sikap perlawanan itu mengakibatkan Belanda memutuskan untuk mengakhiri mimpi tiga pahlawan lapangan ini. Dan hal ini membuat Ikal terpacu untuk melanjutkan impian Ayahnya, walau Ayahnya tak pernah memintanya. Disini kita juga diajak untuk mencintai Tim Sepak Bola PSSI karena mencintai Tim Sepak Bola sendiri adalah 10% mencintai bola dan 90% mencintai Tanah Air. Karena bagi Ikal dan Ayahnya, sepak bola adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang pernah menimpa mereka.
Apik sekali cara Andrea menuliskan kisah yang diambil dari sejarah Ayahnya ini. Gue bukan penggemar sepak bola atau olahraga manapun. Gue nggak suka menonton acara kompetisi, tapi gue nggak tau sepakbola bisa terlihat begitu indah. Cara Andrea menggambarkan sepak bola ke dalam sastra akan membuat penggemar bola manapun semakin mencintai sepak bola. Dan satu hal yang selalu gue dapatkan dari semua buku Andrea; gue jadi semakin menyayangi dan menghargai Ayah sendiri.
"Trompet memekakkan, kembang api yang ditembakkan, dan api suar yang dilambai-lambaikan dari atas pagar pembatas adalah perayaan kegembiraan. Bendera raksasa yang berkibar-kibar adalah psikologi. Mars penyemangat yang gegap gempita adalah seni. Orang-orang yang duduk di podium kehormatan adalah politik, dan orang-orang berdasi yang sibuk dengan telepon genggamnya di belakang jajaran politisi itu adalah bisnis. Orang-orang yang berdesak-desakkan di mobil omprengan demi mendukung PSSI adalah Patriotisme..."
Intinya, jika lo pecinta sepak bola, maka novel ini adalah bacaan wajib. Kalaupun bukan, novel ini adalah salah satu dari sedikit sastra yang menginspirasi kita untuk tidak pernah berhenti mendukung tim sepak bola negara kita.
Terimakasih lho, mas Andis, karena novel ini telah membangkitkan semangat membaca gue lagi yang beberapa bulan ini sempat hilang terbawa angin. Semangat dan maju terus, Tim Sepak Bola Indonesia!!
0 komentar:
Post a Comment