Sunday, December 20, 2009

Pemimpi

Sedari kecil, gue memang suka bermimpi tinggi meski itu hanya impian kosong. Tapi, gue yang dulu dan sekarang berbeda. Gue benar-benar ingin mewujudkan impian itu. Semua orang mampu asal mereka punya keinginan dan keyakinan akan kemampuan diri mereka. Gue tidak mau terlahir di dunia ini hanya menjadi manusia kecil nggak bermakna dengan hidup biasa.

Gue ingin menjadi bagian dari suatu organisasi yang bisa membantu orang-orang di jalanan, anak-anak yang nggak sekolah agar punya hidup yang lebih layak. Tapi, gue juga tau... untuk mencapai semua itu nggak akan mudah. Perjuangannya bukan perjuangan biasa. Gue sangat mengerti itu dan karena itulah gue semakin yakin. Memulai dari hal kecil, sekarang gue melatih diri untuk lebih banyak berpikir dan meyakinkan diri untuk percaya pada impian itu. Bahwa gue ingin berbuat sesuatu di dunia ini. Sesuatu yang bermakna dan berguna. 

Gue percaya dengan semua itu. Tapi kata-kata ini benar-benar membuat gue jatuh lagi begitu kerasnya.

"Mimpi boleh tapi jangan ketinggian. Yang realistis. Ntar kalau kamu udah gede, udah hidup di kantoran juga nggak bakal semudah itu mikirnya. Nggak usahlah mimpi kayak gitu. Jadi pegawai negeri aja udah. Gaji terjamin."

Setiap kali gue sekedar iseng curhat bahwa gue mau jadi ini, ingin membuat itu, dia akan bilang kalo impian gue adalah impian kosong anak remaja yang gampang diucapkan. Dia selalu bilang kalau dewasa nanti, akan berbeda pemikirannya. Baginya, yang terpenting dalam hidup adalah mencari kenyamanan dan keamanan, segala hal yang pasti dan harus terjamin.

Gue mungkin cuma bocah perempuan 17 tahun yang suka berkhayal dan tidak punya pengalaman apa-apa sekarang. Tapi apa salah kalau gue hanya ingin menceritakan impian dengannya. Tidak bisakah dia tersenyum dan mengiyakan saja? Minimal agar gue tidak kehilangan kepercayaan diri?

Thursday, December 17, 2009

Sang Pemimpi the Movie

 

Gue sudah memesan tiketnya tiga hari sebelum film ini tayang di bioskop karena gue yakin kalau film ini akan menyedot banyak penonton seperti film pertamanya, Laskar Pelangi, dan gue nggak mau sampai kehabisan tiket. Novel Sang Pemimpi sendiri memang salah satu novel favorit gue dari serial Laskar Pelangi. Dan hari ini pun, akhirnya gue berangkat ke Pejaten Village bareng Ema, Mara, Vina, De Nanda, dan Ratma. Di antara kita, memang cuma gue yang paling semangat. Bahkan semalaman gue nggak bisa tidur saking nggak sabarnya pengin nonton. Gue takut kecewa, tapi juga penasaran dan punya keyakinan bahwa film ini akan memuaskan, secara dia digarap oleh Riri Riza dan Mira Lesmana

Film Spoilers:
Film dibuka dengan Mathias Muchus yang berperan sebagai ayah dari Ikal sedang mengayuh sepeda kumbangnya diiringi bunyi khas sepeda tua menelusuri jalanan yang dikelilingi alang-alang dan pepohonan, serta terik matahari. Awal yang penuh makna karena kisah ini memang tentang Ayah. Lalu tiba-tiba scene berpindah ke daerah Bogor, diiringi suara Lukman Sardi sabagai narator yang juga memerankan Ikal dewasa, disini ia memulai kisahnya. Ikal dewasa digambarkan sedang putus asa dan mengeluhkan pekerjaannya sebagai Tukang Pos. Ikal tidak pernah percaya pada Tukang Pos, tapi dia malah berakhir sebagai Tukang Pos. Ada kisah tersendiri dibalik rasa tidak percayanya itu. Kisah yang membuat gue menitikkan air mata nantinya. Saat itu, Ikal juga mengeluhkan impiannya yang terlalu tinggi, sambil memikirkan sepupunya Arai yang telah mengajaknya bermimpi setinggi ini, namun malah meninggalkannya selama tiga tahun di rumah sempit di Bogor. 

Ikal tengah putus harapan. Namun, di tengah keputusasaannya, pemandangan anak-anak SMA yang berlarian di sekitar kontrakannya membuatnya mengingat masa lalunya: dan cerita pun dimulai. Masa kecilnya dengan Arai. Dari sini hingga 2 jam kedepan adalah masa-masa dimana gue tertawa ngakak (benar-benar ngakak) dan juga menangis haru (meski nggak sampai sesenggukan) karena Riri Riza begitu apik memvisualisasikan sebuah cerita dari buku ke layar lebar. Dan pada akhir film, saat Arai dewasa (Nazril Irham - Ariel Peterpan) mengucapkan kata terakhir, "Tapi, Kal... kita belum sampai Perancis!", gue merasa sangaaaat puas. Rasa penasaran dan khawatir gue terbayar sudah. Film ini dimulai dan diakhiri dengan memuaskan, porsi yang pas menurut gue pribadi.

Tokoh-tokoh dalam film ini awalnya sempat bikin gue ragu. Bisakah mereka menyamai kesuksesan akting anak-anak Laskar Pelangi yang polos dan natural? Dan ternyata mereka bisa. Dan gue merasa cukup terhibur dan puas dengan akting semua pemain di film ini. Ayo kita review satu persatu:

Vikri Septiawan as Ikal remaja
Vikri Septiawan - Ikal Remaja : Tokoh Ikal remaja ini awalnya sempat membuat gue ragu... apakah dia bisa menyamai kepiawaian akting Zulfanny sebagai Ikal kecil? Dan hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Vikri berhasil menghidupkan emosi Ikal remaja, dari marah, sedih, senang, penyesalan, dan berbagai emosi lainnya. Dialog Ikal remaja tidak lebih banyak kalau dibanding Arai, meski porsi scene untuknya sedikit lebih banyak tentunya, tapi justru kemampuannya berekspresi tanpa bicara dan hanya lewat rautan wajah terasa sangat natural. Untuk seorang pendatang baru dari Belitung yang sama sekali belum pernah akting sebelumnya, dia membawakan peran ini dengan baik.

Ahmad Syaifullah sbg Arai remaja
Ahmad Rendi Syaifullah - Arai Remaja : Tokoh Arai remaja ini juga sempat membuat gue khawatir. Gue meragukan apakah dia bisa membawakan karakter favorit para pembaca yang merupakan jantung dari cerita ini? Arai yang penuh kejutan, penuh mimpi, urakan, cerdas, dan berbagai sifat luar biasa lainnya, bisakah seorang pendatang baru remaja dari Belitung ini membawa Arai ke layar lebar? Gue takut dia akan mengecewakan dan kaku. Dan ternyata, sekali lagi, ketakutan gue tidak terbukti. Rendi, hampir mirip seperti Verrys Yamarno yang memerankan tokoh Mahar di Laskar Pelangi, meninggalkan kesan keunikan yang menggemaskan. Bahkan banyak yang merasa dialah Arai, Sang Simpai Kramat itu. Senyum jahilnya, kata-kata penuh semangatnya, semuanya benar-benar dibawakan dengan porsi yang pas. Fakta bahwa wajahnya masih baru di dunia seni peran memberi kesan yang lebih realistis ke film ini.

Azwir Fitrianto sbg Jimbron remaja
Azwir Fitrianto - Jimbron Remaja : Tokoh Jimbron ini nggak segagap yang di bukunya, tapi secara wajah dan penampilannya, dia memang sama persis dengan yangg digambarkan Andrea Hirata di novel Sang Pemimpi. Dari segi akting, dia mungkin masih kalah dibanding Vikri Septiawan dan Ahmad Syaifullah, tapi dia juga nggak mengecewakan. Aktingnya sabagai orang gagap penggemar kuda yang lugu dan innocent dibawakan dengan baik dan meyakinkan, tidak terlihat kaku.  Paling tidak, cukup banyak moment dari Jimbron yang membuat penonton terpingkal dibuatnya. Keluguannya yang natural tergambar dengan baik di layar lebar..

Nazriel Irham - Ariel - Arai Dewasa
Kenapa gue langsung review ke tokoh Arai dewasa dan bukannya Ikal dewasa? Karena menurut gue, tokoh-tokoh yang lain sudah nggak perlu di-review lagi. Akting mereka sudah pas dan cocok dengan porsinya. Dan... tokoh Arai dewasa ini memang yang paling ditunggu-tunggu karena perannya dibawakan oleh Nazril Irham alias Ariel Peterpan (tau kan siapa? Itu lho vokalisnya Peterpan yang namanya udah ganti jadi Noah 😊). Semua pasti penasaran dengan akting Ariel sebagai Arai, kan? Pasalnya, tokoh Arai itu cerdas tapi jahil dan bandelnya nggak ketulungan, nggak bisa diam, tapi juga berhati emas dan jenius. Kita mau tau apakah Ariel bisa membawakan tokoh Arai yang seperti itu karena kita taunya Ariel itu kalem.

Waktu awal Ariel muncul di film menggantikan tokoh Arai remaja menjadi Arai dewasa, gue memang merasa aneh. Maklumlah, biasanya gue lihat dia nyanyi di panggung. Gue juga bertanya-tanya, apakah aktingnya akan sesuai porsi Arai yang penuh warna itu? Dan ternyata... He exceeded my expectation. Ariel tidak terlihat kaku membawakan sifat Arai yang penuh keajaiban itu, hehe. Dan logat melayunya juga nggak kaku. Dia bisa menggambarkan Arai yang di buku dengan baik. Tentu saja aktingnya masih tidak seapik Rendi, tapi bukan berarti dia jelek. Tidak... Ariel benar-benar natural membawakan karakter Arai. So far... So good~

Ikal saat mengejar ayahnya
Buku VS Film:
1. Pecinta novel Sang Pemimpi pasti tahu kalau Arai kecil suka berbuat jahil pada Taikong Hamim, guru ngaji Ikal, Arai, dan Jimbron. Nah, di film ada lho adegan dimana Arai kecil dan Ikal kecil sedang sholat maghrib. Saat waktunya bilang Amieen setelah Al-Fatihah, tokoh Arai kecil benar-benar memanjangkan kata "Aaaaaaaamiiiiiiiiieeeeen" bahkan dengan nada-nada dangdut. Yang lain sudah selesai ber-amin, Arai masih aja berteriak 'AMIN' dengan keras dan membuat Ikal langsung menoleh ke arahnya. That was hilarious!

2. Kalau di buku, Ikal dan Arai sudah bertemu sejak umur 5 tahun, maka di film, Ikal baru bertemu Arai setelah ia kehilangan Lintang. Well, lebih masuk akal sih sebagai kelanjutan filmnya, terlepas dari novelnya, mengingat keberadaan Arai nggak pernah disinggung di film Laskar Pelangi, padahal mereka sudah berpetualang bersama sejak usia 5 tahun.

3. Kalau di buku, suara Arai cempreng banget saat bernyanyi sampai-sampai dia harus lip sync waktu akan nyanyi buat Zakiah Nurmala, di film ini suara Arai remaja justru bagus dan merdu. Waktu dia nyanyi lagu melayu di depan rumah Zakiah Nurmala, satu bioskop ngakak. Bukan karena suaranya, tapi karena penampilannya.

5. Adegan waktu Ikal mengejar Ayahnya yang baru mengambil raport, saat nilai Ikal turun drastis karena dia sudah mulai goyah akan mimpi-mimpinya, benar-benar sesuai dengan bukunya. Dan saat adegan itu berjalan, satu bioskop hening. Nangisssss semua.

Oke segitu dulu reviewnya, ya. Semoga bermanfaat!