Friday, October 11, 2019

Broken Again

It is really scary... getting older. I thought I don't mind being alone and stay in my own world, but seeing so many of my friends finally get married and live what seems to be a wonderful marriage life makes me longing for someone too. I know better than anyone that getting married doesn't guarantee happiness. I'm the witness of a broken marriage, and yet I'm still longing for someone. I'm just getting more afraid to be alone, but I also don't want just anybody to keep me company.

And that's why I let myself get carried away with those kinds of feelings, knowing full well that maybe his company was only pity and kindness, not because I'm special or something. I know that really well, yet I'm still holding on to some hopes. That's why it's painful when I want to be near him, or hoping he will notice my loneliness and talk to me like always, he didn't. I'm reminded again that it was all mere kindness. He can't always be there for me. And I don't deserve any of those things after I pushed people away because of my own self-pity. 

I know that I need to change something about my anxiety, I should put more efforts, but I've built walls so thick around me, I'm afraid of getting my heart broken so I protected it, and yet I still got my heart broken again. I know my weaknesses and it is my own fault for being too afraid to change it. I won't burden anyone too much. I can't handle myself, how could I expect that someone else would? I'm already broken from the beginning, I always am broken inside and I shouldn't expect anyone to fix me.

Tuesday, June 18, 2019

Tuberculosis and Me

Seumur hidup, gue pernah beberapa kali mengalami penyakit yang bisa dibilang cukup parah. Tahun 2014, gue mengalami pembekuan darah merah dimana hal itu membuat gue kesulitan untuk bergerak dan selalu merasakan sakit di seluruh tubuh jika tersentuh sedikit aja oleh orang lain. Hal itu berlangsung selama beberapa bulan, udah pergi ke Dokter dan Laboratorium, nggak juga mendapatkan penyembuhan. Akhirnya pergi ke Alternatif dan seluruh tubuh gue disabet pake sapu lidi kecil. Kata Ustadnya sih menyabetnya pelan, tapi karena darah gue membeku, gue merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuh gue. Selama dua jam lebih gue disabet dan gue nangis karena menahan rasa sakit, lalu setelah selesai, gue dikasih jamu dan beberapa bagian tubuh gue dibungkus pake plastik dengan sangat rapat. Nggak boleh dibuka hingga besok katanya. Besoknya setelah gue bangun tidur, plastik itu udah berubah warna dan menampung cairan berwarna merah pekat. Ternyata itu darah kotor yang membeku. Setelah itu, alhamdulillah tubuh gue kembali sehat dan bisa beraktivitas normal.

Tahun 2019 ini, gue kembali diuji dengan penyakit parah. Tubuh gue terdiagnosis terkena virus Tuberculosis atau yang lebih orang kenal dengan TBC. Penyakit ini mematikan karena membuat penderitanya menjadi sangat lemah dan pelan-pelan mereka nggak akan mampu melakukan apapun, lalu meninggal. Penyakit ini juga sangat mudah menular melalui batuk, bersin, dan berbicara karena dia ditularkan melalui dahak dan udara. Oleh karena itulah, banyak yang memiliki stigma negatif tentang pasien TBC dan malah menjauhi mereka karena takut akan tertular. Apalagi Indonesia menempati urutan ke-2 di dunia yang memiliki penyakit TBC. (Source: Kompas.com).

Sebelum resmi terdiagnosis TBC, gue memang mengalami tubuh menjadi sangat lemas. Gue bahkan nggak sanggup melakukan pekerjaan rumah seperti beres-beres saking lemasnya. Anehnya, meski makan sedikit karena selalu mual dan kadang muntah setelahnya, tingkat BAB (Buang Air Besar) gue justru bertambah, bisa 3x sehari dan bentuknya encer. Berat badan turun drastis dari 48 kg jadi 39 kg. Kata Mama, mata gue jadi cekung ke dalam saking kurusnya. Nafsu makan yang menurun ini berlangsung selama beberapa bulan, ditambah batuk yang gue diamkan meski tambah parah hingga sebulan lebih. Emang gitu anaknya.... suka menantang penyakit, sok kuat, merasa bahwa batuknya akan sembuh sendiri asal makan banyak dan nggak mau buang-buang uang (padahal nggak punya uang wkwk). 

Setelah 3 malam berturut-turut, gue mengalami batuk yang parah dan sulit berhenti, tubuh gue menjadi amat sangat lemas, gue akhirnya memutuskan berangkat ke Puskesmas untuk berobat. Diagnosis awal Dokter adalah infeksi Paru-Paru, lalu setelah menjalani tes dahak dan tes darah, tiga hari kemudian gue pun resmi terdiagnosis TBC. 

Mama yang menemani sepanjang proses pengobatan adalah yang paling panik dan overdramatik ketika mendengar diagnosis Dokter. Beliau ingat kalau dulu salah satu Asisten Rumah Tangga-nya juga pernah terkena TBC dan harus disuntik setiap hari, dan seluruh peralatan makannya harus dipisah. Gue dimarahi karena beliau sebenarnya merasa frustasi dan bersalah karena merasa gara-gara dia nggak merawat gue dengan baik, gue jadi sakit parah. Mama bahkan sempat merasa bahwa gara-gara kecerobohannya dia sehingga gue terlahir prematur, maka daya tahan tubuh gue jadi melemah. Tapi karena rasa sedih, frustasi, dan bersalah yang besar dalam waktu yang tiba-tiba itu, Mama jadi memarahi gue dalam kesedihannya sambil meyakinkan gue di saat yang bersamaan bahwa dia akan berusaha merawat gue hingga sembuh apapun caranya dan berapapun harganya. Jadi, Mama itu marah tapi sayang, dan gue jadi antara sedih dan senang menerima amarahnya, hehe.

Dokter TBC yang menangani gue bernama Reza. Dokter Reza menjelaskan bahwa tipe TBC (?) yang gue derita belum kronis, belum cukup parah dan gue masih bisa melakukan rawat jalan di rumah. Dokter Reza juga menegaskan kalau gue nggak perlu memisahkan peralatan makan selama dicuci bersih setelah digunakan. Penyakit TBC ini juga bukan dikarenakan seorang anak terlahir prematur, jadi Mama nggak perlu menyalahkan dirinya. Gue juga meyakinkan Mama bahwa daya tahan tubuh gue menurun memang karena kesalahan gue sendiri yang tidak cukup disiplin dalam menjaga gaya hidup. Makan sehari sekali, ngopi 3 kali, tidur pagi, nggak pernah olahraga, minum es mulu pula, hal-hal yang sudah seharusnya dapat gue kendalikan sebagai orang dewasa, jadi penyakit gue ini bukan karena Mama lalai dalam merawat gue, tapi gue sendiri yang acuh pada kesehatan. I think it is safe to say that I deserved this illness.


Alhamdulillah, pengobatan pasien TBC di Indonesia itu digratiskan oleh Pemerintah, jadi gue yang tidak punya BPJS ini hanya perlu membayar biaya tes laboratorium dan pengobatan awal. Pengobatan dan kontrol selanjutnya bebas biaya. Gue wajib minum 3 tablet merah khusus pasien TBC sekali sehari dan tidak boleh putus selama 2 bulan di jam yang sama. Waktu Ramadan, gue wajib meminumnya jam 2.30 pagi, lalu setelah Ramadan selesai, jadwal minum obat gue diubah menjadi jam 6 pagi. Kalau sampai satu hari aja kelewatan meminum 3 obat itu, gue harus memulai pengobatan dari awal dan kemungkinan akan berefek lebih parah di tubuh, dan mungkin gue harus disuntik setiap hari di Rumah Sakit, jadi gue berusaha keras mendisiplinkan diri untuk telaten minum obatnya, meski agak berat dikarenakan insomnia gue yang parah sih. Kadang kalau jam 3 pagi belum bisa tidur, gue akan panik takut kesiangan untuk bangun minum obat. Akhirnya gue berkorban nggak tidur aja sampai jam 6 pagi.

Sejak memulai pengobatan, lemas di tubuh gue jauh berkurang dan nafsu makan gue bertambah. Mama juga sangat luar biasa, beliau rela beli daging dan ayam yang mahal demi gue bisa makan sehat dan sesuai selera sesuai saran Dokter, padahal gue tahu keuangan keluarga sedang kurang baik, tapi Mama rela melakukan apapun agar anak-anaknya makan enak dan sehat. Berat badan gue pun naik 4 kg dalam 2 minggu dan hal itu memotivasi gue untuk makan banyak agar bisa mendapatkan berat badan normal lagi. She is my greatest support system during this illness indeed.

Penyakit ini juga membuat gue jauh lebih positif dan nggak mudah stress, anehnya gue sangat berusaha mendoktrin diri gue untuk tidak mudah ke-trigger stress kayak dulu-dulu karena gue ingin hidup dengan baik. Gue sudah merasa menjadi beban yang berat bagi keluarga dan gue nggak mau memperparah penyakit gue dengan stress dan depresi, jadi apapun keadaannya, gue harus bahagia. Wah, ternyata udah panjang banget tulisannya. Saking lamanya nggak nulis, entah kenapa ada banyak hal yang ingin disampaikan. Gue merasa menjalani hidup sebagai penderita TBC adalah salah satu fase penting yang harus gue abadikan untuk pelajaran di masa depan. Siapapun yang rela membaca ini hingga habis, terima kasih banyak dan mohon doa terbaiknya agar gue kuat menghadapi penyakit ini dan menuntaskan pengobatan hingga 6 bulan ke depan.

Friday, February 15, 2019

Stop Sharing

Apparently, knowing that you have always been considered as a burden by someone you love is really hurt. But then again, there is no one to be blamed except me for being a burden. And lately, even when I shared my anxieties and sorrows, it will become a burden too.

I wanted to be heard. I wanted someone to comfort me when I shared those sufferings, but what I got is a warning not to be weak and insecure. Sufferings, after all, should be kept to ourselves, right? No one should be burdened by our problems because they have enough on their own.

So, I don't want to be a burden. I don't want to cause sadness and sorrow. And if by keeping all my problems and anxieties to myself will make the world around me happier, then it's okay for me to let all these thrashes get rotten alone inside of me.

Wednesday, February 6, 2019

Thank You, AIPA

Alhamdulillah, three months passed, and I was able to finish my internship at AIPA Secretariat. The earlier days were very shocking to me. I was just getting out from months of hibernation at home, I hadn't socialized with people for a long time. But at the same time, despite the difficulties, I was able to learn new things and skills.

While doing an internship at AIPA, I also learned a lot about myself and my weaknesses. I probably have aware of them but somehow always push them to the very end of my mind, 'cause they are all negative. I mean, just my usual thoughts on a daily basis already negative enough for me to handle. I realized that as I grow older, it's getting really really difficult to get to know new people. I didn't mean to do it, but somehow the wall between me and them is really hard to break for myself. I tried so hard to remind myself every time: join the conversation, make some compliments, laugh at their jokes, don't get busy with your own thought.

But the thing is... once there are more than 3 people in the circle, my mouth will automatically shut, especially when they're the hardcore extroverts who really love to talk. If everyone is already talking, then I don't feel the need to talk at all. Maybe because we haven't built a relationship that's close enough for me to be comfortable talking to them. But even just as a bystander, I still somehow enjoyed the time I had at AIPA, doing research, writing, and learn to create graphic design.

I always bring my own lunch because I don't have money to buy food. The only person whom I can comfortably talk with is Bu Nyoman, a 40+ years old mother who easily laughs and sat beside my desk. She is so cheerful and loves to tell the story about her daughter. Apparently, she finds me a really good listener for her because I actually caught all the details she told me. Bu Nyoman also always notice that I never went outside for lunch, so she started bringing me some snacks and foods every day. She is truly a mother. I was a little bit lonely today because she couldn't come to the office, but that's okay. She lives at Ciputat where almost all my friends lived so I will have a chance to visit her in the future.

The other thing that I learned is to properly greet everyone and say "Good Morning" and properly say "See you tomorrow...". Let me be honest with you. I always thought those greetings only happen in a movie. There was a time when I also try to look cheerful all the time because we had some party. Everyone was laughing and comfortably joking with each other and me trying to be a normal person, it would be rude if all I show is a dead face. So, I tried to laugh at some jokes. I'm not trying to fake myself, I just try my best to be polite. I ended up exhausted so much that I needed to go to the kitchen to have some alone time. Then, I decided to wash the dishes just so I can have an excuse to get out of the situation. It is really difficult to fit in, to join the crowd... So the fault is in me because I couldn't make myself comfortable around new people. So if I ended up didn't leave an impression, I couldn't blame anyone. The problem is within myself and I find it really hard to change that.

But there are moments that I genuinely enjoyed too. When some of my colleagues took me to karaoke, just a few numbers of people, and I was truly grateful.

Somebody told me that if you don't get anything valuables, you're beyond stupid if you choose to stay. I find it quite alright with just building a new relationship with new people and getting knowledge. And by making new friends, which I hardly ever done, is a form of blessing, isn't it? So no matter how exhausting it is for me to try to fit in (and failed miserably), no matter how exhausted I was, I'm still truly grateful for the time I had at AIPA. I was finally able to start something and properly finish it and leave the place properly, saying goodbye properly. It is a big step at least for myself because I usually just decided to disappear and never say proper greeting or goodbye. So for all those things I learned, I thanked AIPA for that.