Tuesday, June 18, 2019

Tuberculosis and Me

Seumur hidup, gue pernah beberapa kali mengalami penyakit yang bisa dibilang cukup parah. Tahun 2014, gue mengalami pembekuan darah merah dimana hal itu membuat gue kesulitan untuk bergerak dan selalu merasakan sakit di seluruh tubuh jika tersentuh sedikit aja oleh orang lain. Hal itu berlangsung selama beberapa bulan, udah pergi ke Dokter dan Laboratorium, nggak juga mendapatkan penyembuhan. Akhirnya pergi ke Alternatif dan seluruh tubuh gue disabet pake sapu lidi kecil. Kata Ustadnya sih menyabetnya pelan, tapi karena darah gue membeku, gue merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuh gue. Selama dua jam lebih gue disabet dan gue nangis karena menahan rasa sakit, lalu setelah selesai, gue dikasih jamu dan beberapa bagian tubuh gue dibungkus pake plastik dengan sangat rapat. Nggak boleh dibuka hingga besok katanya. Besoknya setelah gue bangun tidur, plastik itu udah berubah warna dan menampung cairan berwarna merah pekat. Ternyata itu darah kotor yang membeku. Setelah itu, alhamdulillah tubuh gue kembali sehat dan bisa beraktivitas normal.

Tahun 2019 ini, gue kembali diuji dengan penyakit parah. Tubuh gue terdiagnosis terkena virus Tuberculosis atau yang lebih orang kenal dengan TBC. Penyakit ini mematikan karena membuat penderitanya menjadi sangat lemah dan pelan-pelan mereka nggak akan mampu melakukan apapun, lalu meninggal. Penyakit ini juga sangat mudah menular melalui batuk, bersin, dan berbicara karena dia ditularkan melalui dahak dan udara. Oleh karena itulah, banyak yang memiliki stigma negatif tentang pasien TBC dan malah menjauhi mereka karena takut akan tertular. Apalagi Indonesia menempati urutan ke-2 di dunia yang memiliki penyakit TBC. (Source: Kompas.com).

Sebelum resmi terdiagnosis TBC, gue memang mengalami tubuh menjadi sangat lemas. Gue bahkan nggak sanggup melakukan pekerjaan rumah seperti beres-beres saking lemasnya. Anehnya, meski makan sedikit karena selalu mual dan kadang muntah setelahnya, tingkat BAB (Buang Air Besar) gue justru bertambah, bisa 3x sehari dan bentuknya encer. Berat badan turun drastis dari 48 kg jadi 39 kg. Kata Mama, mata gue jadi cekung ke dalam saking kurusnya. Nafsu makan yang menurun ini berlangsung selama beberapa bulan, ditambah batuk yang gue diamkan meski tambah parah hingga sebulan lebih. Emang gitu anaknya.... suka menantang penyakit, sok kuat, merasa bahwa batuknya akan sembuh sendiri asal makan banyak dan nggak mau buang-buang uang (padahal nggak punya uang wkwk). 

Setelah 3 malam berturut-turut, gue mengalami batuk yang parah dan sulit berhenti, tubuh gue menjadi amat sangat lemas, gue akhirnya memutuskan berangkat ke Puskesmas untuk berobat. Diagnosis awal Dokter adalah infeksi Paru-Paru, lalu setelah menjalani tes dahak dan tes darah, tiga hari kemudian gue pun resmi terdiagnosis TBC. 

Mama yang menemani sepanjang proses pengobatan adalah yang paling panik dan overdramatik ketika mendengar diagnosis Dokter. Beliau ingat kalau dulu salah satu Asisten Rumah Tangga-nya juga pernah terkena TBC dan harus disuntik setiap hari, dan seluruh peralatan makannya harus dipisah. Gue dimarahi karena beliau sebenarnya merasa frustasi dan bersalah karena merasa gara-gara dia nggak merawat gue dengan baik, gue jadi sakit parah. Mama bahkan sempat merasa bahwa gara-gara kecerobohannya dia sehingga gue terlahir prematur, maka daya tahan tubuh gue jadi melemah. Tapi karena rasa sedih, frustasi, dan bersalah yang besar dalam waktu yang tiba-tiba itu, Mama jadi memarahi gue dalam kesedihannya sambil meyakinkan gue di saat yang bersamaan bahwa dia akan berusaha merawat gue hingga sembuh apapun caranya dan berapapun harganya. Jadi, Mama itu marah tapi sayang, dan gue jadi antara sedih dan senang menerima amarahnya, hehe.

Dokter TBC yang menangani gue bernama Reza. Dokter Reza menjelaskan bahwa tipe TBC (?) yang gue derita belum kronis, belum cukup parah dan gue masih bisa melakukan rawat jalan di rumah. Dokter Reza juga menegaskan kalau gue nggak perlu memisahkan peralatan makan selama dicuci bersih setelah digunakan. Penyakit TBC ini juga bukan dikarenakan seorang anak terlahir prematur, jadi Mama nggak perlu menyalahkan dirinya. Gue juga meyakinkan Mama bahwa daya tahan tubuh gue menurun memang karena kesalahan gue sendiri yang tidak cukup disiplin dalam menjaga gaya hidup. Makan sehari sekali, ngopi 3 kali, tidur pagi, nggak pernah olahraga, minum es mulu pula, hal-hal yang sudah seharusnya dapat gue kendalikan sebagai orang dewasa, jadi penyakit gue ini bukan karena Mama lalai dalam merawat gue, tapi gue sendiri yang acuh pada kesehatan. I think it is safe to say that I deserved this illness.


Alhamdulillah, pengobatan pasien TBC di Indonesia itu digratiskan oleh Pemerintah, jadi gue yang tidak punya BPJS ini hanya perlu membayar biaya tes laboratorium dan pengobatan awal. Pengobatan dan kontrol selanjutnya bebas biaya. Gue wajib minum 3 tablet merah khusus pasien TBC sekali sehari dan tidak boleh putus selama 2 bulan di jam yang sama. Waktu Ramadan, gue wajib meminumnya jam 2.30 pagi, lalu setelah Ramadan selesai, jadwal minum obat gue diubah menjadi jam 6 pagi. Kalau sampai satu hari aja kelewatan meminum 3 obat itu, gue harus memulai pengobatan dari awal dan kemungkinan akan berefek lebih parah di tubuh, dan mungkin gue harus disuntik setiap hari di Rumah Sakit, jadi gue berusaha keras mendisiplinkan diri untuk telaten minum obatnya, meski agak berat dikarenakan insomnia gue yang parah sih. Kadang kalau jam 3 pagi belum bisa tidur, gue akan panik takut kesiangan untuk bangun minum obat. Akhirnya gue berkorban nggak tidur aja sampai jam 6 pagi.

Sejak memulai pengobatan, lemas di tubuh gue jauh berkurang dan nafsu makan gue bertambah. Mama juga sangat luar biasa, beliau rela beli daging dan ayam yang mahal demi gue bisa makan sehat dan sesuai selera sesuai saran Dokter, padahal gue tahu keuangan keluarga sedang kurang baik, tapi Mama rela melakukan apapun agar anak-anaknya makan enak dan sehat. Berat badan gue pun naik 4 kg dalam 2 minggu dan hal itu memotivasi gue untuk makan banyak agar bisa mendapatkan berat badan normal lagi. She is my greatest support system during this illness indeed.

Penyakit ini juga membuat gue jauh lebih positif dan nggak mudah stress, anehnya gue sangat berusaha mendoktrin diri gue untuk tidak mudah ke-trigger stress kayak dulu-dulu karena gue ingin hidup dengan baik. Gue sudah merasa menjadi beban yang berat bagi keluarga dan gue nggak mau memperparah penyakit gue dengan stress dan depresi, jadi apapun keadaannya, gue harus bahagia. Wah, ternyata udah panjang banget tulisannya. Saking lamanya nggak nulis, entah kenapa ada banyak hal yang ingin disampaikan. Gue merasa menjalani hidup sebagai penderita TBC adalah salah satu fase penting yang harus gue abadikan untuk pelajaran di masa depan. Siapapun yang rela membaca ini hingga habis, terima kasih banyak dan mohon doa terbaiknya agar gue kuat menghadapi penyakit ini dan menuntaskan pengobatan hingga 6 bulan ke depan.