Sunday, December 20, 2009

Pemimpi

Sedari kecil, gue memang suka bermimpi tinggi meski itu hanya impian kosong. Tapi, gue yang dulu dan sekarang berbeda. Gue benar-benar ingin mewujudkan impian itu. Semua orang mampu asal mereka punya keinginan dan keyakinan akan kemampuan diri mereka. Gue tidak mau terlahir di dunia ini hanya menjadi manusia kecil nggak bermakna dengan hidup biasa.

Gue ingin menjadi bagian dari suatu organisasi yang bisa membantu orang-orang di jalanan, anak-anak yang nggak sekolah agar punya hidup yang lebih layak. Tapi, gue juga tau... untuk mencapai semua itu nggak akan mudah. Perjuangannya bukan perjuangan biasa. Gue sangat mengerti itu dan karena itulah gue semakin yakin. Memulai dari hal kecil, sekarang gue melatih diri untuk lebih banyak berpikir dan meyakinkan diri untuk percaya pada impian itu. Bahwa gue ingin berbuat sesuatu di dunia ini. Sesuatu yang bermakna dan berguna. 

Gue percaya dengan semua itu. Tapi kata-kata ini benar-benar membuat gue jatuh lagi begitu kerasnya.

"Mimpi boleh tapi jangan ketinggian. Yang realistis. Ntar kalau kamu udah gede, udah hidup di kantoran juga nggak bakal semudah itu mikirnya. Nggak usahlah mimpi kayak gitu. Jadi pegawai negeri aja udah. Gaji terjamin."

Setiap kali gue sekedar iseng curhat bahwa gue mau jadi ini, ingin membuat itu, dia akan bilang kalo impian gue adalah impian kosong anak remaja yang gampang diucapkan. Dia selalu bilang kalau dewasa nanti, akan berbeda pemikirannya. Baginya, yang terpenting dalam hidup adalah mencari kenyamanan dan keamanan, segala hal yang pasti dan harus terjamin.

Gue mungkin cuma bocah perempuan 17 tahun yang suka berkhayal dan tidak punya pengalaman apa-apa sekarang. Tapi apa salah kalau gue hanya ingin menceritakan impian dengannya. Tidak bisakah dia tersenyum dan mengiyakan saja? Minimal agar gue tidak kehilangan kepercayaan diri?

Thursday, December 17, 2009

Sang Pemimpi the Movie

 

Gue sudah memesan tiketnya tiga hari sebelum film ini tayang di bioskop karena gue yakin kalau film ini akan menyedot banyak penonton seperti film pertamanya, Laskar Pelangi, dan gue nggak mau sampai kehabisan tiket. Novel Sang Pemimpi sendiri memang salah satu novel favorit gue dari serial Laskar Pelangi. Dan hari ini pun, akhirnya gue berangkat ke Pejaten Village bareng Ema, Mara, Vina, De Nanda, dan Ratma. Di antara kita, memang cuma gue yang paling semangat. Bahkan semalaman gue nggak bisa tidur saking nggak sabarnya pengin nonton. Gue takut kecewa, tapi juga penasaran dan punya keyakinan bahwa film ini akan memuaskan, secara dia digarap oleh Riri Riza dan Mira Lesmana

Film Spoilers:
Film dibuka dengan Mathias Muchus yang berperan sebagai ayah dari Ikal sedang mengayuh sepeda kumbangnya diiringi bunyi khas sepeda tua menelusuri jalanan yang dikelilingi alang-alang dan pepohonan, serta terik matahari. Awal yang penuh makna karena kisah ini memang tentang Ayah. Lalu tiba-tiba scene berpindah ke daerah Bogor, diiringi suara Lukman Sardi sabagai narator yang juga memerankan Ikal dewasa, disini ia memulai kisahnya. Ikal dewasa digambarkan sedang putus asa dan mengeluhkan pekerjaannya sebagai Tukang Pos. Ikal tidak pernah percaya pada Tukang Pos, tapi dia malah berakhir sebagai Tukang Pos. Ada kisah tersendiri dibalik rasa tidak percayanya itu. Kisah yang membuat gue menitikkan air mata nantinya. Saat itu, Ikal juga mengeluhkan impiannya yang terlalu tinggi, sambil memikirkan sepupunya Arai yang telah mengajaknya bermimpi setinggi ini, namun malah meninggalkannya selama tiga tahun di rumah sempit di Bogor. 

Ikal tengah putus harapan. Namun, di tengah keputusasaannya, pemandangan anak-anak SMA yang berlarian di sekitar kontrakannya membuatnya mengingat masa lalunya: dan cerita pun dimulai. Masa kecilnya dengan Arai. Dari sini hingga 2 jam kedepan adalah masa-masa dimana gue tertawa ngakak (benar-benar ngakak) dan juga menangis haru (meski nggak sampai sesenggukan) karena Riri Riza begitu apik memvisualisasikan sebuah cerita dari buku ke layar lebar. Dan pada akhir film, saat Arai dewasa (Nazril Irham - Ariel Peterpan) mengucapkan kata terakhir, "Tapi, Kal... kita belum sampai Perancis!", gue merasa sangaaaat puas. Rasa penasaran dan khawatir gue terbayar sudah. Film ini dimulai dan diakhiri dengan memuaskan, porsi yang pas menurut gue pribadi.

Tokoh-tokoh dalam film ini awalnya sempat bikin gue ragu. Bisakah mereka menyamai kesuksesan akting anak-anak Laskar Pelangi yang polos dan natural? Dan ternyata mereka bisa. Dan gue merasa cukup terhibur dan puas dengan akting semua pemain di film ini. Ayo kita review satu persatu:

Vikri Septiawan as Ikal remaja
Vikri Septiawan - Ikal Remaja : Tokoh Ikal remaja ini awalnya sempat membuat gue ragu... apakah dia bisa menyamai kepiawaian akting Zulfanny sebagai Ikal kecil? Dan hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Vikri berhasil menghidupkan emosi Ikal remaja, dari marah, sedih, senang, penyesalan, dan berbagai emosi lainnya. Dialog Ikal remaja tidak lebih banyak kalau dibanding Arai, meski porsi scene untuknya sedikit lebih banyak tentunya, tapi justru kemampuannya berekspresi tanpa bicara dan hanya lewat rautan wajah terasa sangat natural. Untuk seorang pendatang baru dari Belitung yang sama sekali belum pernah akting sebelumnya, dia membawakan peran ini dengan baik.

Ahmad Syaifullah sbg Arai remaja
Ahmad Rendi Syaifullah - Arai Remaja : Tokoh Arai remaja ini juga sempat membuat gue khawatir. Gue meragukan apakah dia bisa membawakan karakter favorit para pembaca yang merupakan jantung dari cerita ini? Arai yang penuh kejutan, penuh mimpi, urakan, cerdas, dan berbagai sifat luar biasa lainnya, bisakah seorang pendatang baru remaja dari Belitung ini membawa Arai ke layar lebar? Gue takut dia akan mengecewakan dan kaku. Dan ternyata, sekali lagi, ketakutan gue tidak terbukti. Rendi, hampir mirip seperti Verrys Yamarno yang memerankan tokoh Mahar di Laskar Pelangi, meninggalkan kesan keunikan yang menggemaskan. Bahkan banyak yang merasa dialah Arai, Sang Simpai Kramat itu. Senyum jahilnya, kata-kata penuh semangatnya, semuanya benar-benar dibawakan dengan porsi yang pas. Fakta bahwa wajahnya masih baru di dunia seni peran memberi kesan yang lebih realistis ke film ini.

Azwir Fitrianto sbg Jimbron remaja
Azwir Fitrianto - Jimbron Remaja : Tokoh Jimbron ini nggak segagap yang di bukunya, tapi secara wajah dan penampilannya, dia memang sama persis dengan yangg digambarkan Andrea Hirata di novel Sang Pemimpi. Dari segi akting, dia mungkin masih kalah dibanding Vikri Septiawan dan Ahmad Syaifullah, tapi dia juga nggak mengecewakan. Aktingnya sabagai orang gagap penggemar kuda yang lugu dan innocent dibawakan dengan baik dan meyakinkan, tidak terlihat kaku.  Paling tidak, cukup banyak moment dari Jimbron yang membuat penonton terpingkal dibuatnya. Keluguannya yang natural tergambar dengan baik di layar lebar..

Nazriel Irham - Ariel - Arai Dewasa
Kenapa gue langsung review ke tokoh Arai dewasa dan bukannya Ikal dewasa? Karena menurut gue, tokoh-tokoh yang lain sudah nggak perlu di-review lagi. Akting mereka sudah pas dan cocok dengan porsinya. Dan... tokoh Arai dewasa ini memang yang paling ditunggu-tunggu karena perannya dibawakan oleh Nazril Irham alias Ariel Peterpan (tau kan siapa? Itu lho vokalisnya Peterpan yang namanya udah ganti jadi Noah 😊). Semua pasti penasaran dengan akting Ariel sebagai Arai, kan? Pasalnya, tokoh Arai itu cerdas tapi jahil dan bandelnya nggak ketulungan, nggak bisa diam, tapi juga berhati emas dan jenius. Kita mau tau apakah Ariel bisa membawakan tokoh Arai yang seperti itu karena kita taunya Ariel itu kalem.

Waktu awal Ariel muncul di film menggantikan tokoh Arai remaja menjadi Arai dewasa, gue memang merasa aneh. Maklumlah, biasanya gue lihat dia nyanyi di panggung. Gue juga bertanya-tanya, apakah aktingnya akan sesuai porsi Arai yang penuh warna itu? Dan ternyata... He exceeded my expectation. Ariel tidak terlihat kaku membawakan sifat Arai yang penuh keajaiban itu, hehe. Dan logat melayunya juga nggak kaku. Dia bisa menggambarkan Arai yang di buku dengan baik. Tentu saja aktingnya masih tidak seapik Rendi, tapi bukan berarti dia jelek. Tidak... Ariel benar-benar natural membawakan karakter Arai. So far... So good~

Ikal saat mengejar ayahnya
Buku VS Film:
1. Pecinta novel Sang Pemimpi pasti tahu kalau Arai kecil suka berbuat jahil pada Taikong Hamim, guru ngaji Ikal, Arai, dan Jimbron. Nah, di film ada lho adegan dimana Arai kecil dan Ikal kecil sedang sholat maghrib. Saat waktunya bilang Amieen setelah Al-Fatihah, tokoh Arai kecil benar-benar memanjangkan kata "Aaaaaaaamiiiiiiiiieeeeen" bahkan dengan nada-nada dangdut. Yang lain sudah selesai ber-amin, Arai masih aja berteriak 'AMIN' dengan keras dan membuat Ikal langsung menoleh ke arahnya. That was hilarious!

2. Kalau di buku, Ikal dan Arai sudah bertemu sejak umur 5 tahun, maka di film, Ikal baru bertemu Arai setelah ia kehilangan Lintang. Well, lebih masuk akal sih sebagai kelanjutan filmnya, terlepas dari novelnya, mengingat keberadaan Arai nggak pernah disinggung di film Laskar Pelangi, padahal mereka sudah berpetualang bersama sejak usia 5 tahun.

3. Kalau di buku, suara Arai cempreng banget saat bernyanyi sampai-sampai dia harus lip sync waktu akan nyanyi buat Zakiah Nurmala, di film ini suara Arai remaja justru bagus dan merdu. Waktu dia nyanyi lagu melayu di depan rumah Zakiah Nurmala, satu bioskop ngakak. Bukan karena suaranya, tapi karena penampilannya.

5. Adegan waktu Ikal mengejar Ayahnya yang baru mengambil raport, saat nilai Ikal turun drastis karena dia sudah mulai goyah akan mimpi-mimpinya, benar-benar sesuai dengan bukunya. Dan saat adegan itu berjalan, satu bioskop hening. Nangisssss semua.

Oke segitu dulu reviewnya, ya. Semoga bermanfaat!

Thursday, November 5, 2009

So What If You're an ABRI?

Tadi siang di sekolah, seperti biasa, gue, Putri, Dewi, dan Litha ngerumpi sebelum pelajaran mulai (atau bahkan saat pelajaran sedang berlangsung 😈). Tiba-tiba Putri dengan semangat bilang,  

"Eh gue mau cerita dong... gue mau cerita. Dengerin guee..." dia matiin iPod Dewi dan memaksa kita fokus pada ceritanya. Yep, Putri memang sering bersikap seperti anak kecil dan agak polos. Tapi, menurut gue, itulah yang menjadi daya tarik dirinya. Kepolosan yang natural dan jujur.

Putri cerita kalau kemarin saat pulang sekolah, dia melihat kejadian seru yang melibatkan beberapa orang berseragam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan seorang Bapak yang kasihan. Yep, Bapak ini kasihan bgt. You want to know why...? Keep reading.

Jadi, waktu Putri pulang naik angkot, di suatu daerah (Putri menyebutkan nama daerahnya... tapi sekali lagi gue melupakannya) angkotnya terjebak macet. Nah, ternyata macet itu bukan karena lampu merah, melainkan ada kecelakaan kecil yang tak disengaja. Biasalah... Khilaf. Seorang Bapak berbadan besar (menurut Putri) secara tak sengaja nyerempet motor. Nah, yang diserempet itu ternyata motor milik seorang ABRI. Keadaan si motor beserta ABRI-nya sendiri nggak luka atau lecet sedikitpun, mungkin mereka memang sedikit shock. Tapi, si ABRI itu langsung marah-marah ke si Bapak. Si Bapak yang nabrak itu udah minta maaf, tapi si ABRI itu tetap marah-marah hingga memukul Bapak yang nggak sengaja nabrak. Yang membuat tambah panas adalah, kata Putri, teman-teman si pengendara ABRI itu yang juga adalah anggota ABRI ikutan menghampiri lokasi dan bukannya memisahkan mereka, malah ikut mukulin dan nendangin Bapak itu.

WHAT THE HELL?!

Si bapak itu diam aja dipukulin meski tampangnya udah mau nangis (ya iyalah... dia ditendang, dipukul, dan parahnya kepalanya sempet dipukul pakai helm. ITU KAN SAKIT!) Dan parahnya lagi, nggak ada yang berani menolong si Bapak. Orang-orang disitu, meski banyak, nggak ada satupun yang cukup berani untuk melawan pria-pria berbaju tentara dengan pin jabatan di seragam mereka itu.

Mereka ABRI darimana sih? Kok tega banget sampe mukulin si Bapak yang nggak sengaja nyerempet dan sudah minta maaf? Memang kenapa kalau mereka berpangkat tinggi? Mereka berhak mukulin orang yang melakukan kesalahan yang nggakl disengaja? Bukankah tugas mereka harusnya melindungi masyarakat? Di mata Tuhan, kita semua itu sama. Mungkin mereka pikir keren kali dilihatin banyak orang.

Seandainya gue ada di posisi Putri saat itu, pasti gue sudah turun dan coba melindungi Bapak itu. Bukannya sok berani. Tapi, gue kan perempuan, siswi SMA pula, yang kalau pulang sekolah masih memakai jilbab panjang berseragam, jadi pastinya ABRI itu nggak bakal berani dong mukulin gue. Unless they really are that low to hit a girl. Sesungguhnya memaafkan itu lebih baik, bukan?

Friday, October 30, 2009

SMP Jaman Sekarang


SMP jaman sekarang sudah tak sepolos jaman gue dulu (padahal belum lama juga lulus dari SMP 😔). Ataukah gue yang dulunya terlalu cupu dan naif? Waktu SMP, nggak pernah sekalipun terpikirkan oleh gue untuk pacaran (yep... sepertinya gue dulu terlalu culun dan nggak laku, jadi gitu). Bukan sok suci atau apa, hanya saja, perasaan suka ke cowok bukan sesuatu yang akan gue ungkapkan. Ya udah gitu aja. Nggak ada keinginan untuk memiliki dia. Malah malu banget kalau sampai dia memperhatikan keanehan gue.

Waktu SMP, gue merasa bahwa pertemanan dengan orang yang gue sukai sudah merupakan hal yang luar biasa, lebih dari cukup. Nggak perlulah pacaran. Belum perlu, lebih tepatnya. Berteman aja masih labil, gimana kalau pacaran?

Waktu SMP, gue adalah tipe anak yang masih tercengang-cengang melihat cewek-cowok gandengan tangan, pelukan... dan ciuman di kelas. Sekarang, pacaran sepertinya jadi kebutuhan ya? Kayaknya kalau di status Facebook, statusnya in relationship, ada suatu kebanggaan tersendiri. 

Bicara soal Facebook, gue juga sering tercengang sendiri saat melihat anak-anak SMP update status, "Seminggu jomblo bosen deh. Pengin cari pacar lagi ahh...". Wow, apakah segampang itu mereka dapat pacar baru setelah yang lama putus? Ini pacarannya sama manusia atau sama kucing? Apa sebegitu krisisnya keadaan diri kita kalau nggak punya pacar lebih dari seminggu? Berhubung gue nggak punya pengalaman pacaran, jadi gue nggak paham seberapa krisis hidup kita tanpa pacar.

Selain pacaran, anak-anak SMP pun juga udah nggak asing dengan yang namanya kontak fisik, dan dalam pacaran, minimal harus ada cium pipi kanan dan kiri, lalu.... (isi sendiri). Saking kebablasannya, sekarang nggak jarang ada berita anak kelas 2 SMP yang umurnya kira-kira 13-14 tahun menghamili teman sekelasnya. 

Umur 13-14 tahun udah hamilin anak orang!! Teman sekelas!? Gimana nasib anak yang dikandungnya itu? Bagaimana orangtua mereka? Lalu, bagaimana dengan dosa? Apakah mereka tidak kepikiran bahwa ada Tuhan yang mengawasi?

Nafsu memang membutakan akal sehat. Meski mereka sudah tahu kalau perbuatan mereka salah, sebagian dari mereka menutup kuping dan telinga (eh... ini sama ya hehe), maksudnya menutup telinga dan hati mereka dan mengikuti nafsu dengan alasan pembuktian cinta. Pembuktian cinta apa? Emang kalau pacaran harus melakukan koneksi tubuh supaya lebih dekat?

Hal seperti ini dianggap sebagai hal yang semakin biasa, bahkan gaya. Semoga gue punya tameng yang kuat untuk bertahan menjaga diri gue sendiri karena sering pada akhirnya yang jadi korban adalah perempuan... 💔

Tuesday, October 27, 2009

For My Dear Cousin

Hollaaaaa... Bloggers from all over the World *cih, no one cares~

Moment terpenting yang membuat gue super senang adalah bertemu Debby Amanda, sepupu dekat gue!! Oke... memang kedengarannya biasa. Ketemu sepupu? Tapi bagi gue, ini adalah MOMEN PENTING karena sudah berbulan-bulan lamanya sejak terakhir kali gue bertemu dia. Mungkin sudah setahun lebih. Bahkan saat Lebaran pun, kita nggak bisa bertemu.

Debby seumuran dengan gue dan kita pernah tinggal serumah selama beberapa tahun, and it was fun. Bisa dibilang, Debby adalah sepupu terdekat dan yang paling gue sayangi. Debby benar-benar terasa seperti the real sister bagi gue, secara saudara gue cowok semua. Debby adalah satu-satunya sepupu dari keluarga Mama yang seumuran dengan gue, bahkan susunan keluarga kita pun sama persis. Kita sama-sama anak kedua dari tiga bersaudara, dengan kakak dan adik cowok yang umurnya pun juga sama. What a cool coincidence. We're one and the same!

I've known her since we were born, she's like my best friend, my sister, my rival, my role model... she means so much to me. Gue melihat dia sebagai panutan karena dia cerdas, pandai bergaul meski dia nggak ngerasa begitu, dan secara nggak sadar, dari kecil hingga sekarang, kita seperti rival. We can share our problems about our family and our private life. She is so special.

Kita pernah menghabiskan masa kecil layaknya kakak-adik.
Kita pernah berantem sampai saling mendiamkan satu sama lain, padahal sama sepupu yang lain nggak pernah. We fought just like sister.
Dia membuat gue merasa harus bersaing dan berlomba untuk hal-hal yang baik.

Dia adalah orang pertama yang terpikirkan saat Mama ngajak jalan-jalan dan nanya, "Mau ajak temen, nggak?"Bahkan waktu Debby tinggal di Padang untuk waktu yang cukup lama, kita tetap saling menghubungi satu sama lain.

Dan tadi siang setelah pulang sekolah, entah kenapa gue berkhayal bisa ketemu Debby secara nggak sengaja pas lagi kemana kek gitu dengan harapan kita bisa benar-benar ketemu. To my surprise, dia sudah ada di depan rumah dengan Mamanya. I was like... "Is it how it feels when a dream comes true?" 😂

She looks prettier than before. Nggak kayak gue yang nggak ada perubahan. Tetap kucel, dekil, keringetan, ingusan... pokoknya beda banget.

Kita bertemu hanya sekitar setengah jam, setelah urusannya selesai, Debby dan Mamanya serta kakaknya, Derry, pamit pulang. Setelah berbulan-bulan kangen, hanya sesingkat ini pertemuan kita. Bahkan nggak ada sesi curhat seperti biasa? Oh well...

I miss her already. We used to visit Gramedia to buy Japanese mangas. We used to talk about anything, we shared our problems about our family's matter, and so much more. I really miss her. I love her like a sister.

Saturday, October 24, 2009

Penvill yang Malam Itu Menyebalkan

Serius, deh, gue kapok dan nggak mau lagi… karena selain membahayakan nyawa gue sendiri, juga membahayakan nyawa mereka. Bukan gue yang mebahayakan, tapi Mama yang berkali-kali panik dan goyang-goyang gara-gara nggak nyaman duduklah, dan bla bla bla. Dan si adik berkali-kali menyingkirkan rambut keriting gue yang menyapu-nyapu wajahnya 😋. Alhasil, gue yang sedang menyetir di tengah jalan raya menuju Penvill (Pejaten Village) jadi susah fokus, kan. Belum lagi, ada banyak pengendara liar yang ngebut pula malam itu. Sedangkan gue harus pelan-pelan dan hati-hati agar nggak dibawa ke kantor polisi atas tuduhan membunuh emak dan adik dengan menggunakan motor.

Sesampainya di Penvill, gue kira sudah aman, eh ternyata masih harus cari tempat parkir (gue amatir banget dan bingung di tempat parkir yang super penuh begitu) jadi gue turunin Mama dan De Nanda dan mulai mencari tempat untuk parkir motor. Gue mengikuti motor di depan gue, tapi ternyata dia parkir di tempat becek. Argh…!! Ya udahlah! Akhirnya terpaksa gue parkir di sebelahnya yang ternyata jauh lebih becek karena nggak ada tempat lain lagi (sebenernya ada tapi susah banget alias malas, mungkin kalau Papa yang pegang motor akan lain ceritanya). Setelah proses parkir yang ribet dan melelahkan itu (iyalah… motornya berat!) gue, Mama, dan Nanda langsung cari tempat makan. Berhubung gue sedang batuk, gue hanya pesan teh hangat. Akhirnya malah ditawarin air putih yang harganya mahal 😔

Setelah makan, gue, Mama, dan Nanda lanjut ke Hypermart untuk belanja. Niatnya sih, gue cuma mau beli alat perawatan cewek aja, kayak lotion, parfum, bedak, dan lain-lain, karena kakak gue yang sangat peduli penampilan itu, Mas Inu, sudah mengeluh melihat gue sehari-hari yang katanya dia… katanya dia lho ya… nggak ada kesan 'cewek' sama sekali. Padahal sih menurut gue, diri ini sudah sangat girly lho. Buktinya kalau mandi bersih. Gue cuma malas aja pakai body lotion dan semacamnya karena ribet dan lama. Tapi, karena gue sudah 17 tahun, mungkin sudah waktunya merawat diri. Jadi, gue beli deh beberapa benda itu.

Tapi, si Mama ini lupa kalau kita nggak bawa mobil. Dia main ambil barang-barang kebutuhan rumah tangga dari yang penting sampai yang nggak penting buat dibeli. Barulah setelah gue ingatkan kalau kita naik satu motor doang dan BERTIGA pula, Mama berhenti mengambil segala hal yang ada di jangkauannya. Belanjaan paling sedikit Mama adalah malam itu. Tiga plastik penuh dan berat. Ya, itu yang paling sedikit. Gue udah ngeri aja ngebayangin beban di motor pas pulang nanti bakal tambah berat, hiks.

Selesai dari Hypermart, kita menuju Gramedia, tempat wajib kalau ke Mall dan di Mall-nya ada Gramedia. Gue beli novelnya Raditya Dika - Cinta Brontosaurus, barulah kita pulang. Berhubung tempat parkir motor agak jauh, Mama mencoba cari jalan pintas dengan lewat sana-lewat sini - belok sana-belok sini - yang ternyata malah TAMBAH JAUH. Gue bawa plastik yang paling berat, pula. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, sampailah kita di tempat parkir motor yang beceknya belum hilang itu. Setelah berusaha ngeluarin motor dan menggantung belanjaan, gue mulai jalan.

SUMPAAAH BERAT.

Mana pada goyang-goyang. Dan saat mencoba lewat jalan pintas malah kena macet. Untung berhasil sampai rumah dengan tanpa luka. Cuma tangan aja yang pegel.

Fyi, ternyata pelembab wajah yang gue beli semalam itu ampuh. Pas paginya gue coba pakai, entah ilusi atau bukan, tapi gue merasa sedikit bertambah cakep. Sekian.

Thursday, October 22, 2009

Happy Birthday Dewi!

Hari ini sahabat gue, Dewi Irnawati, berulang tahun ceritanya, hihi. Happy birthday, dear. Berhasil juga lo hidup sampai umur 17 tahun. Maaf ya kita nggak ngucapin duluan karena kita memang berencana sengaja nyuekin lo tadi, hehe, tapi nggak berhasil. Abis lo ngajak ngomong mulu sih 😏 Btw... karena tadi ada pelajaran Seni dimana kami para murid XII-IPS 1 ditugaskan membawa Cat Astero 3 warna dengan kuas lengkap, akhirnya gue, Putri, dan Litha memutuskan membuat poster dari cat itu bertuliskan "Happy Birthday, Dewi!!"

Dan... seperti orang bodoh, kita membuat poster itu di belakang Dewi dan secara terang-terangan bilang, "Dew... jangan nengok ke belakang.." yang mana dengan sangat jelas kita mengumumkan kalau poster yang sedang kita kerjakan itu buat dia hehehe. Maklum dadakan idenya.

Sebelum memberikan poster itu, gue berencana bikin satu poster lagi dan mau memberi cap jari gue ke kertas itu pakai cat. Eh si Putri bilang, "Kita olesin ke mukanya aja yuk..." dan gue pun termakan bujukan setan dan langsung tanpa ampun mencoreng wajah Dewi dengan tangan penuh cat, hehehe...
Sasaran nggak cuma Dewi, gue menuju Litha dan dengan liar mencoreng wajahnya. Dan tangan ini nyasar ke jilbab putihnya dan tertempel lah percakkan seni di jilbab Litha. Litha sempat marah secara dia memang sangat memperhatikan kebersihan baju. Hehe maaf ya, Tha. Tapi sekarang udah nggak marah, kan? Hihihi... (begini nih caranya minta maaf!)

Akhirnya, setelah kesenangan mencoret-coret segala hal dengan Cat Astero, barulah kita memberikan poster ancur karya kita bertiga ke Dewi dan komentarnya, "Ini nih kejutannya??" dengan tampang "Jelek bener hadiah gue!" hihihi.

Ini dia poster ancur kita yang super sederhana


Di jam istirahat, Dewi mentraktir kita mie ayam sebagai balasan kado 'berharga' kita. Perut yang kenyang pun membuat kita mulai bosan karena nggak ada kerjaan. Tiba-tiba Dila datang ke kelas kita. dan gue pun mengajaknya bermain Cat Asturo ini. Terlihat tas hitam EAT milik gue yang polos dan kosong melompong tanpa hiasan. Mulai deh, tangan-tangan iseng gue dan Dila menggambar-gambar di tas itu, nggak lama Cintia ikutan bergabung dalam pekan seni ini. Putri, Litha, dan Dewi pun tergoda dan ikutan nimbrung menyumbangkan seni mereka. Jadilah tas gue sebagai kanvas dan tempat perkumpulan seniman muda. Dan inilah hasil yg terjadi setelah tas hitam polos itu dilukis oleh tangan-tangan super-tak-kreatif


 
A MASTERPIECE 😈

Selain menggunakan Cat Asturo untuk poster berantakan dan memperjelek tas, kita juga ramai-ramai mengecat kuku (nggak punya duit buat beli cutex yang asli hihihi) dan ternyata Cat Asturo itu gampang banget dihapus dari kuku. Jadi, kalau mau sholat nggak perlu khawatir, dan banyak pilihan warnanya pula (ceritanya iklan).


From left: kuku gue dan Litha // To Right : kuku Dewi dan Putri. Hihi. telihat seperti cutex kan, padahal ini cat minyak lho, saking kreatifnya kita (atau kurang kerjaan).

ONCE AGAIN... HAPPY BIRTHDAY, DEWI!!

Wednesday, October 21, 2009

Introduction

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Akhirnya berhasil juga gue bikin blog. Ribet... maklum gue rada gaptek dan harus otak-atik komputer sendirian. Tapi akhirnya, gue sukses mempunyai blog. Yeyy...senangnyaaaaa!!

Kalian bisa panggil gue Denisa, Denis, Nisa, Andria, I don't mind as long as you don't use insulting words haha. I'm not a special person FOR OTHER PEOPLE. But I'm special for myself (we all are, aren't we? 😉)  Gue nggak tahu, nih, mau nulis apa lagi, sepertinya tidak ada yang menarik dari diri gue untuk dibahas sekarang, tapi yang pasti gue sudah tidak sabar memenuhi blog ini dengan berbagai kisah hidup yang semoga bermanfaat (ea)

Oke segitu aja dulu yaaa. See you later.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.