Monday, December 26, 2011

Trapara on the Road in review


Tiga hari kemarin gue habiskan di sebuah gunung di daerah Ciburial, Bogor, dalam rangka Trapara on the road PSM UIN Jakarta. Salah satu pengalaman berharga yang nggak akan pernah gue lupakan. Tawa dan tangis, emosi yang naik turun, terus berusaha melewati batas kemampuan, menjaga kebersamaan, dan banyak lagi. Begitu banyak hal yang gue pelajari di Trapara kali ini, namun ada beberapa hal yang gue garisbawahi:

1. Rasa syukur atas kenikmatan dari hal-hal kecil.
Setetes air di mulut, sentuhan air dingin di telapak kaki, sesuap nasi, beberapa menit untuk tidur, rasa hangat saat berada di dalam mukena waktu sholat, kesempatan untuk duduk beberapa menit, pemandangan yang indah, dan banyak lagi hal-hal kecil lainnya terasa dua kali lebih nikmat dari biasanya ketika gue menjalani latihan yang cukup berat di Trapara. Rasa syukur terus mengiringi jika mengingat kembali ke masa tiga hari itu. Hidup ini indah, dan banyak kenikmatan yang seringkali gue lupakan. Terutama kenikmatan atas rumah dan keluarga. Home is the sweetest heaven!

2. Melewati pagar batas kemampuan diri.
Jika berada di dalam keadaan normal, gue akan berpikir bahwa gue nggak akan mampu mendaki gunung dengan membawa ransel yang sangat berat sendirian. Gue nggak akan mampu bertahan lama di dalam air dingin untuk bernyanyi. Gue nggak akan bisa tidur di tenda yang sempit dan kotor dengan baju yang kotor pula. Gue nggak akan sanggup push up di atas aspal yang berantakan berkali-kali. Tapi, semua hal-hal yang gue pikir telah menjadi batas itu hilang ketika berada di Trapara. Semua hal yang gue pikir tidak mungkin menjadi mungkin.

3. Melawan egoisme.
Manusia adalah makhluk egois. Semua manusia. Hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Dan di Trapara on the road, gue diajarkan, atau bisa dibilang dipaksa, untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Gue nggak bisa menghabiskan sebotol air untuk sendirian aja. Gue nggak bisa berjalan ke depan tanpa memandang kanan dan kiri, memastikan mereka juga berjalan searah dengan gue. Intinya, gue belajar untuk tidak menomorsatukan diri sendiri. Manusia memang harus menomorsatukan orang lain yang berharga baginya karena manusia saling membutuhkan, dan jika kita ingin dinomorsatukan oleh orang lain, kita pun harus menomorsatukan mereka.

4. Semua Manusia Itu Indah
Angkatan Maximilian adalah sebuah kelompok yang terdiri dari berbagai macam karakter. Karakter-karakter tersebut jika dilihat sekilas saja dari luar terlihat biasa, sama saja dengan kebanyakan orang, kadang menyebalkan, beberapa ada yang nggak memberi kesan sama sekali. Tapi, ketika gue mencoba melihat lebih dalam ke diri mereka, warna-warna yang berbeda muncul. Keindahan yang berbeda terpancar. Sungguh, tak ada satupun makhluk Allah yang diciptakan untuk menjadi biasa saja. :')

Ini semua adalah proses. Hal yang dilalui dengan proses yang singkat tidak akan memberikan hasil yang maksimal, dan gue berharap kita semua dari Maximilian bisa tetap berjalan bersama hingga waktu yang nggak bisa ditentukan nanti. Selama mungkin. Gue pun bisa belajar banyak mengenai karakter sendiri. Terimakasih Ya Allah, kenikmatan-Mu tiada tara. 💛
I really love my life...

0 komentar:

Post a Comment