Monday, March 28, 2011

Menulis Dulu Terasa Mudah

Menulis dulu terasa mudah. Waktu masih duduk di bangku SMP, gue bisa menulis hingga dua puluh halaman cerita di buku dalam waktu satu jam saja. Ya, buku... bukan komputer... karena gue belum punya komputer saat itu. Dimanapun gue berada, jika ada ada kesempatan, gue pasti menulis cerita. Hingga akhirnya gue berhasil menyelesaikan tiga hingga empat buah novel di buku tulis. Tulisan tangan sendiri. Dan novel-novel itu dibaca teman-teman SMP. Kalau diingat-ingat lagi lucu juga. Gue dan teman-teman SMP dahulu masih sangat naif dan menikmati segala hal dengan penuh rasa kagum, termasuk tulisan gue yang juga naif. Hanya terinspirasi dari komik-komik dan novel teenlit cinta remaja, karena saat itu gue belum pernah mengalami percintaan yang sebenarnya, jadi gue nggak punya pengalaman yang bisa dipercaya untuk dituangkan ke dalam tulisan.

Well, gue juga nggak yakin apakah sekarang sudah cukup berpengalaman atau tidak. Kayaknya sih tetap belum, deh, hehehe. Dulu, novel-novel tulisan tangan itu terasa bagus banget. Tentu aja, sekarang kalau harus membaca novel-novel itu lagi, gue nggak akan berpikiran sama dan pasti merasa malu sendiri. Kenapa dulu gue amat sangat mendayu-dayu dalam membuat cerita? Yah, tapi paling tidak, dulu gue selalu menyelesaikan tulisan. Sekarang untuk menyelesaikan lima halaman aja butuh waktu tiga jam. Masa yang sulit. Gue bergulat dengan imajinasi, berpikir kata apa yang terbaik dan menarik yang sekiranya cocok untuk gue padu padankan agar bisa menggambarkan bayangan yang gue mau ke dalam tulisan dengan jelas. Ide cerita udah ada di kepala dan inspirasi mengalir deras. Tapi, sulit banget rasanya menyelesaikan tulisan ini. Gue jadi berpikir, kenapa menulis jadi terasa sesulit ini? Gue menjelajahi pikiran sendiri, mencoba menemukan jawabannya. Hmm... Mungkin karena sekarang, gue tidak menikmati menulis seperti tiga tahun lalu.

Sekarang, gue terlalu berpikir kepada plot, konsep, dan hal-hal semacamnya. Gue lupa dengan peraturan penting dalam menulis: write it first and fix it later. Gue yang dulu nggak terlalu memikirkan konsep, mungkin karena masih bocah, yang gue mau cuma menulis. Nggak peduli bagaimana tampilannya nanti. Sekarang, terlalu banyak hal-hal yang sebenarnya nggak harus gue pikirkan sekarang (karena gue menulis bukan untuk diterbitkan, bukan?) dan akhirnya gue kehilangan poin-poin dalam imajinasi yang tadinya mau gue keluarkan. Alhasil, menulis satu bab saja terasa berat. Yah, setelah sadar akan hal-hal ini, gue mau mencoba kembali ke diri gue di tiga tahun lalu, yang menulis apa adanya tanpa memikirkan segala macam konsep penampilan tulisan tersebut. Kalau tulisan gue udah selesai, barulah gue gunakan otak untuk memperbaikinya. Karena dalam proses penulisan, hati yang memegang kendali penuh. Gue mungkin akan mencoba menulis di buku lagi. Atau mungkin tidak, karena gue nggak tahan melihat tulisan tangan gue sendiri. Yang penting.... Ganbaretsugo, Denisa!

2 komentar:

Nikko Sucahyo said...

kayaknya nih, salah satu cara buat dapet pengalaman itu dgn ditunjukkan ke orang lain, terus nerima komen. goodluck :)

Denisa P. Rosandria said...

haha thankyouu :) kayaknya sih memang begitu :3

Post a Comment